Malam itu sejumlah makhluk Tuhan paling seksi tengah duduk mengitari sebuah api unggun nan kecil. Walau kecil, panas yang dihantarkannya cukuplah sesaat menyekap udara dingin Tak jauh di belakang mereka berjejer sejumlah tenda berwarna dan berwarni yang dipasangi sejak tadi sore. Nah, yang saya maksudkan dengan mereka dalam hal ini adalah Isna, Yauma, Ami, Dela, Arif, Andik, Pak Ikrar, dan…Olan.
Ha, kok ada Olan? Begini, jauh sebelum hari ini pihak SLB telah berencana mengadakan perkemahan malam Minggu. Alasan dipilih malam Minggu karena
kalau malam Jum’at arwah-arwah sedang bergentayangan. Kalau malam Sabtu Pak Ikrar berkencan. Dan kalau malam Senen besoknya kata Mama Loren akan terjadi gempa. Makanya pilihan jatuh pada malam Minggu. Seperti lagunya Afgan: Tujuh hari semalam Minggu hidup penuh warna. Itu saja alasannya. Tidak ada yang special.
Kehadiran Olan di sini merupakan hasil dari keputusan pihak sekolah. Dia diberi mandate untuk menjaga murid-murid yang imut-imut dan lucu-lucu itu dari godaan syaiton yang terkutuk. Sesuai sekali dengan profesinya, yakni baby-sitter sekaligus ustadzah. Jika mulid-mulid itu ingin minum cucu, Olan yang bikinin. Kalau meleka ingin mamam naci goyeng, Olan yang macakin. Kalau meleka ingin ngaji, Olan yang ngajalin. Dan kalau meleka ingin bokel, halam hukumnya kalau Olan yang nyebokin.
Lagipula, tidak mungkin menyerahkan tugas ini pada Pak Ikrar semata. Guru-guru lain berhalangan hadir. Terlebih lagi Pak Retmon. Dia sering marah belakangan ini. Setelah diusut ternyata penyebabnya adalah Cerita Kita yang sebelumnya. Sejak saat itu malas saja hatinya mengikuti acara SLB. Ia memutuskan tuk pulang ke Solok. Namun ternyata di tengah jalan dia malah jalan-jalan ke Danau Kembar. Mengapa bisa? Mungkin karena ada seseorang yang menariknya.
Itulah mengapa ada Olan di perkemahan itu. Selain senang melaksanakan kewajibannya, perempuan manis yang dagunya aduhai itu kabarnya juga senang berdekatan dengan Pak Ikrar. Itu cuma kabarnya. Jangan diseriusi ah. Dibawa santai sadja.
“Baiklah, Anak – anak. Malam semakin larut. Sudah saatnya kalian tidur dan kembali ke tenda masing-masing,” perintah Pak Ikrar.
“Tapi sebelum itu kalian ingatlah pesan Bapak yang satu ini. Hidup itu pilihan, Anak-anak. Mau jomblo, itu pilihan. Punya kekasih, itu juga pilihan. Pilhan itu bersifat dinamis. Maksudnya disesuaikan dengan perubahan semester. Kalian mengerti?”
“Mengerti, Paaaakk,” jawab mereka.
“Tapi, Pak.” Isna menyela
“Ya, ada apa, Isna? Katakan saja sejujurnya. Kamu ga usah sungkan,”
“Isna ga bisa tidur,” ia cemberut
“Lah, kok bisa sama?” tukas Yauma
“Mungkinkah ini kebetulan semata?” Arif ikutan
“Tentu saja tidak, Saudara,” Andik menjawab.
“Oh, Tuhan bersama kita,” arah pembicaraan Ami entah kemana.
“Semua terserah padamu. Aku begini adanya..” waduh, mengapa pula si Dela menyanyikan lagunya Broery Marantika.
Pak Ikrar pun bingung dibuatnya. Serempak keenam murid itu tidak bisa tidur. Sungguh sulit dicerna oleh logika. Seperti cinta sadja. Lalu apakah kebingungan Pak Ikrar tidak menemui jalan keluar? Ada dong. Itulah mengapa ada Olan di sini. Masalah seperti ini sudah biasa dialami Olan. Tentu saja ia tahu apa yang harus dilakukan. Maka dari itu dia datang menemui Pak Ikrar.
“Bang Ikrar, eh Pak Ikrar,” seketika pipi Olan merona. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Ya, ada apa dek Olan. Kamu jangan malu. Tak usahlah menutupi muka begitu. Sia-sia saja nantinya wajah manis pemberian Tuhan itu,” Pak Ikrar mengeluarkan ilmunya.
Sesaat mereka berdiskusi hingga sampai pada sebuah kesimpulan yakni membacakan sebuah dongeng pengantar tidur.
“Anak-anak, kalian mau nggak kalo Tante Olan bacakan sebuah dongeng?” Olan melakukan pendekatan persuasive.
“Mauuuuuuu,” mereka serempak menjawab.
“Dela dongeng pisang ya, Tante,” Dela menambahkan.
“Stafiruloh. Itu goreng pisang, Dela. Bukan dongeng pisang. Sekarang Tante lagi ga jualan. Kamu dengar sajalah Tante membaca dongeng ya?” Olan geram, tapi tetap manis.
Tak lama berselang, sesuai instruksi Olan, anak-anak itu telah duduk dengan manis, semanis Olan. Dan dengan membaca bismillah, dongeng yang berjudul El Pronosticador (Sang Peramal) itu pun dibacakan.
-0-
>> Dahulu kala di negeri Spanyol hiduplah seorang peramal yang terkenal akan ramalannya. Terang saja, namanya juga peramal. Kalau terkenal karena masakannya tentulah Rudy Choirudin ia diberi nama. Dulu ketika rambutnya urakan, ia sering dipanggil gila. Lalu setelah rambutnya mirip Christiano Ronaldo, ia langsung dipanggil crazy. Ia bangga dengan perubahan panggilan itu meski tak sedikitpun mengalami perubahan makna. Atas rasa bangga itu, di sepanjang jalan ia selalu berkata,”I use Clear for men!”
Peramal itu tinggal di sebuah desa bernama Pueblo Notable (Desa Luar biasa). Desa itu masih termasuk kawasan Barcelona, sebuah kota yang dianggap paling mempesona setelah Paris dan Milan. Posisi desa itu tak jauh dari sebuah tempat yang nantinya bernama museum Picasso di Montcada yang terlebih dahulu melewati Las Ramblas, sebuah kawasan yang sering dipadati para seniman jalanan.
Ia tinggal di sebuah pondok kecil yang di halaman belakangannya ditumbuhi berbagai macam buah-buahan kecuali buah hati. Di depannya terdapat sebuah kedai mini. Kedai yang dijaga oleh seorang asisten inilah yang nantinya dijadikan tempat untuk menjual buah-buahan tersebut. Juga terdapat sebuah plang nama yang terpasang di depan pondok itu yang bertuliskan; PAPA LORENZ. MERAMAL MASALAH TANPA MASALAH.
Peramal itu memiliki nama lengkap Armando Khadafi de Lorenz. Ia peranakan campuran Spanyol dan Lebanon Selatan. Makanya terselip nama Khadafi di antara dua nama Spanyol itu. Namun begitu ia lebih terkenal dengan panggilan Papa Lorenz. Satu hal lagi yang membuat ia terkenal adalah cara meramalnya. Ia menggunakan buah-buahan sebagai media. Setiap pasien ia minta memilih satu jenis buahan. Kemudian buah itu dimantrainya dan perlahan dari dalam buah itu muncul sebuah gulungan kertas. Di dalam kertas itulah tertulis jawaban atas pertanyaan pasien.
Siang itu, ia tengah menikmati gambas ala plancha sebagai hidangan makan siang. Udang bakar yang dicocor dengan mayonese itu menjadi makanan favoritnya. Selain rasanya yang luar biasa, harganya yang sangat mahal menjadi salah satu alasan ia menyukai makanan itu. Sombong sekali. Namun ketika sedang asyiknya menikmati makan siang, terdengar olehnya ketukan pintu dari arah depan.
“Tok..tok..Assalamualaikum
“Alaikumsalam. Siapa ya?” jawab Papa Lorenz
“Ini saya, Pap. Pasien anda. Saya ingin dilamar, eh diramal,”
“Oh, begindang. Ya udah, silahkan masuk.”
Papa Lorenz bergegas menuju meja kerjanya. Tidak ada bola kristal penuh tipu muslihat, yang kalau disentuh memunculkan aliran listrik, di atas mejanya. Apalagi kartu tarot. Sudah ketinggalan jaman katanya. Ia kemudian mempersilahkan pasiennya itu duduk.
“Nama anda siapa?”
“Nama saya Yessenia Dita Hernandez,” jawabnya malu-malu.
“Panggilannnya?”
“Manohara,”
Papa Lorenz langsung tercengang
“Anda gila ya?” Papa bertanya.
“Lah, kok Papa bilang saya gila. Jangan malaweh-laweh gitu dong,”
“Hey, dengar. Segila-gilanya saya, anda lebh gila. Masa nama sepanjang dan sespanyol itu panggilannya Manohara? Avavula tu,”
“Suka-suka saya dong mau pacaran sama siapa. Mau teman satu angkatan kek. Beda jurusan kek. Senior satu jurusan kek. Itu terserah saya. Cinta itu soal hati, Bung. Tak bisa dipaksa!” Manohara emosi.
“Woi, anda ngomong sama siapa sih? Serius amat. Kapan saya tanya soal pacaran sama anda? Yang saya tanyakan itu nama anda!”
“Eh, iya ya? Duh maaf. Mulut saya terlepas,” ia berangsur-angsur sadar.
“Mulut terlepas? Maksudnya?” Papa bingung.
“Keceplosan maksudnya,”
“Sudahlah. Tidak jadi saya meramal anda. Cari saja peramal lain. Tuh, si Mama Loren, saingan saya. Pergi sana,” Papa emosi. Papa ga pulang. Papa ga dapat uang.
“Iii..ihh..busuak ati gitu,” Manohara kecewa. Pulang sadjalah dia.
Papa Lorenz berusaha meredam emosinya dengan meminum segelas Clara ditambah batu es. Bir yang dicampur dengan lemon ini hanya ia minum dalam keadaan tertentu. Contohnya saat ini. Baru sadja dua tegukan dinikmatinya, seorang pasien datang lagi. Dan tentu saja Papa Lorenz langsung menemuinya.
“Como esta usted, Senor?” yang artinya apa kabar, Bung.
“Yo estoy bien. Gracias.” Jawab si pasien yang kalau diterjemahkan menjadi I’m fine. Thank you.
“Nama anda?” tanya Papa.
“Gino Gautier Sanchez, Papa.”
“Masalah anda?”
“Saya masih mencintai perempuan itu, Papa. Hauuuu..” dia menangis.
“Trus?”
“Saya ingin tahu apakah dia juga masih mencintai saya? Hauuuu..” dia menangis lagi.
“Baiklah. Sekarang kamu pilih satu di antara buahan yang berada di sebelah kamu itu. Lalu serahkan kepada saya,” titah Papa Lorenz.
“Hauuuuu..”
“Hei, kampret. Ambil buah itu. Jangan hauu, hauu, mulu.”
Tak lama berselang Papa Lorenz menerima buah strawberry pemberian Gino Sanchez. Ia mulai membaca sejumlah mantra. Kemudian strawberry itu perlahan-lahan membelah sendiri. Dan munculah sebuah gulungan kertas kecil. Papa Lorenz dengan sigap mengambilnya dan dengan sigap pula ia membacanya.
“Hmm, saudara Gino Sanchez.” Papa Loren jeda sejenak. Ia menggaruk dagunya. “Sebenarnyaaa….” Papa menggantung jawaban.
“Sebenarnyaaa?” Gino penasaran
“Dia ituuu….” Masih menggantung.
“Dia ituu?” Gino semakin penasaran.
“Masiiih….” Sedikit lagi.
“Masiiih?” Gino menahan kesabaran
“Ciiin…..” sedetik lagi
“Ciiin?” Gino sudah tak tahan.
“Cin cau ni hek. Hayyaaa. Wong fei hung tong sam chong!” Tiba-tiba dari arah luar terdengar suara gaduh. Terlihat seorang saudagar Cina memarahi anak buahnya. Papa Lorenz yang menyaksikan penasaran dibuatnya. Maka ia bergegas keluar dan meinggalkan Gino Sanchez begitu sadja.
Gino Sanchez yang ditinggalkan semakin depresi. Sedikit kata lagi maka ia akan mengetahui perasaan perempuan itu. Ia tak berani berspekulasi. Ingin sekali ia melanjutkan kata yang menggantung itu menjadi cinta. Namun ia ragu. Jikalau memang cinta, cinta kepada siapa. Bisa saja perempuan itu cinta damai, atau cinta laura, atau cinta ini membunuhku, atau juga cintaku bukanlah cinta biasa. Makanya Gino sangat menantikan jawaban Papa Lorenz. Besar sekali harapannya peramal itu berkata,”Sebenarnya dia masih cinta sama kamu,” Tapi apalah daya, keadaan sepertinya belum mengijinkan.
“Halah, ada-ada saja tuh orang Cina. Bikin keributan di depan tempat saya. Cuih, mengganggu saja,” Papa Lorenz kembali ke dalam
“Jadi bagaimana dengan ramalan saya, Papa?” Gino Sanchez masih berharap.
“Oh, iya. Ramalan kamu. Duh, gimana ya saudara Gino,” Papa garuk-garuk kepala.
“Gimana apanya, Papa?”
“Gara-gara keributan tadi wangsit saya jadi hilang,”
“Nggak bisa diulangi lagi, Papa?
“Itulah bedanya diramal sama minum obat. Kalau minum obat bisa tiga kali sehari. Kalau diramal hanya bisa sekali. Sudah ada ketentuannya,”
“Jadi ga bisa lagi? Berarti besok masih bisa kan?” harapan Gino belum luntur.
“Nah, itu dia masalahnya. Besok saya mau naik haji. Ntar malam saya harus siap-siap. Mungkin sebulan lagi saya kembali. Maaf, Gino Sanchez. Kali ini saya tidak bisa membantu,”
Hati Gino Sanchez semakin remuk. Niat hati ingin berjatuh cinta, justru ia jatuh karena cinta. Oh, begitu pahitkah rasanya bila hati dipatahkan. Tidur tak nyenyak, makan tak kenyang. Bertanya ia pada langit, namun langit tak mendengar. Bertanya ia pada rumput yang bergoyang, Ebiet G. Ade malah berang. Bertanya ia pada Buk Susi, “Nanti sajalah. Saya sedang sibuk,” begitu jawabannya.
Rasa putus asa mulai menghampiri Gino. Ia berlutut. Pandangannya jatuh ke bawah. Perlahan-lahan air muncul dari matanya mengaliri pipi. Sesaat ia sempatkan membuka dompetnya tuk menatap kembali foto perempuan yang pernah singgah di hatinya itu,
“Haruskah ku mati karenamu? Terkubur dalam kesedihan sepanjang waktu? Haruskah kurelakan hidupku hanya demi cinta yang mungkin bisa membunuhku?” begitu ucapnya pada foto itu sambil terisak-isak.
Lalu seakan foto itu tak tinggal diam. Ia menjawab tanya Gino Sanchez,
“Kenanglah diriku yang juga mencintaimu. Kenanglah cinta kita yang tak mungkin bersama, slamanya,” foto itu pun mengeluarkan air mata.
“Haauuuuu….”
Papa Lorenz yang sudah ahli soal ilmu cinta mencintai ini mengerti akan apa yang tengah dirasakan Gino Sanchez. Ia tak perlu berpikir panjang untuk mendatangi Gino segera.
“Sudahlah, Anak muda. Kita memang harus menerima kenyataan sekalipun pahit terasa. Hanya itu satu-satunya pilihan. Jatuh cinta itu tidak salah. Namun hasrat ingin selalu memiliki itu terkadang yang jadi masalah,”
“Lalu saya harus bagaimana, Papa? Melupakannya?”
“Saya tidak memintamu untuk melupakannya. Biarlah waktu yang bekerja dalam hal ini. Akan lebih baik bila saat ini kamu belajar tuk mencintai dirimu sendiri. Orang lain boleh berkata cinta padamu. Tapi ketika ia pergi apa yang tersisa? Hanya pilu,”
“Pilu itu sejenis penyakit ya, Papa?”
“Itu flu, Iblis!” Papa Lorenz menahan emosi. “Hanya itu pesan saya. Cintailah dirimu sendiri, maka pada saat itu kau akan benar-benar mengerti bagaimana cinta itu sebenarnya,”
“Tapi, Papa. Itu terlalu sulit,”
“Sulit mana sama soal CPNS?”
“Wah, kayanya lebih sulit tes CPNS, Papa. Ngomong-ngomong Papa ikut tes CPNS daerah mana?”
“Kalau saya milih Pariaman, Gin. Kabarnya sih peluang di sana lebih besar dan lebih bersih,”
“Bersih mana sama Padang?”
“Kalau dibandingkan dengan Pariaman, Padang mah lewat,”
“Lewat mana?”
“Lubuk Buaya,”
“Wah, jauh ya,”
“Masih jauh Pengambiran,.”
“Mang dari Air Tawar ke Pengambiran berapa lama?”
“Gak selama dari Batusangkar ke warnet Azzam,”
“Kalau begitu masih mendingan Aur Duri ke Andalas ya?”
“Beda tipislah dari Solok ke Belimbing,”
“Kalau Solok ke Palembang jauh nggak?”
“Wah kalau itu jalannya berliku-liku. Rumit sekali, Gin. Bisa dekat, bisa jauh,”
“Hm, masih lebih baik Payakumbuh ke Siteba kayanya.”
“Ga juga. Soalnya Payukumbuh ga mau ke Siteba. Justru Siteba yang sangat berharap Payakumbuh mau datang,”
“Mang Siteba pernah kirim sms ke Payakumbuh?”
“Pernah lah. Tujuh sms malah. Tapi anehnya Siteba bilang salah kirim,”
“Reaksinya Payakumbuh?”
“Dia Cuma tersenyum saja.Bangga hatinya selagi masih ada yang menyukainya,”
“Ckckck, padahal Payakumbuh dan Siteba serasi sekali ya. Semua pihak mendukung loh. Semoga saja cinta mereka bisa bertemu,” <<
-0-
Olan memutuskan untuk tidak meneruskan membaca dongeng itu. Ia sangat bingung lalu bergumam,”Dongeng apa ini?”. Wajar bila ia berkata demikian. Lihatlah jalan cerita dongeng itu yang entah kemana. Sudahlah tidak mendidik, inti ceritanya tak pula masuk di akal. Kalau dilanjutkan bisa berdampak buruk bagi perkembangan jiwa para generasi muda Republik Indonesia merdeka yang kucinta, kujaga,dan kubelai mesra.
Keputusan Olan seakan diamini oleh keadaan. Dia memang tidak perlu lagi membaca dongeng itu karena para murid beserta Pak Ikrar sudah tidur dari tadi. Olan menutup buku dongeng tersebut. Ia berdiri untuk sejenak meregangkan otot kakinya. Saat itu ia menyaksikan wajah-wajah imut, lugu, dan tak berdosa yang sedang mendatangi mimpi mereka masing-masing. Terbayang-bayang olehnya kemajuan Indonesia bila suau hari nanti ditangani oleh anak-anak seperti itu. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah Pak Ikrar. Cukup lama ia menatap wajah pria tampan itu hingga akhirnya berujar,
“It’s complicated,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar