Melihat Kepribadian Orang Dari Cara ngupil, akan w tnjukin beberapa tipe orang ngupil:
* Orang yang cinta kebersihan: orang yang sehabis ngupil langsung cuci tangan pake sabun.
* Orang baik hati:orang yang rela ngambilin upil orang laen.
* Orang tolol:Orang yang ga tau caranya ngupil.
* Orang bijaksana:Orang yang tau kapan dia harus ngupil.
* Orang kasar:Orang yang kalo ngupil jari telunjuknya masuk semua.
* Orang yang sadis:Orang yang kalo ngupil upilnya dipeperin ke orang laen.
* Orang yang cekatan:Orang yang kalo ngupil kurang dari 2 detik.
* Orang yang serakah:Orang yang ngupil ga cukup pake satu jari.
* Orang yang strategic:Orang yang ngupil sambil balikin badannya sambil jongkok ato sambil kayang.
* Orang yang perasa:Orang yang kalo abis ngupil trs jarinya di jilat.
* Orang iseng: orang yang ngupil pake tangan orang lain, ato pake lidah
* Orang yang sensual:Orang yang ngupil sambil mendesah, geli2 basah.
* Orang yang kurang ajar:Orang yang kalo ngupil upilnya dibuat gumpalan upil trs di lempar ke nenek2.
* Orang yang hemat:Orang yang ngupil cuma satu minggu sekali.
* Orang yang misterius:Orang yang kalo ngupil upilnya di taro disekelilingnya terusdiem-diem pergi tanpa meninggalkan jejak kecuali upil.
* Orang yang porno:Orang yang ngupil sambil bayangin yang engga-engga.
* Orang yang cinta seni:Orang yang kalo ngupil upilnya di jadikan relief dan patung ‘yg bernilai upil tinggi’.
* Orang yang jorok:Orang yang kalo ngupil upilnya di peperin ke lengan bajunya.
* Orang yang tidak berprikemanusiaan:Orang yang kalo ngupil upilnya di taro makanan ato minuman orang sekitarnya.
* Orang yang atletis:Orang yang sebelum ngupil melakukan pemanasan.
* Orang yang kekanak-kanakan:Orang yang kalo ngupil upilnya di buat mobil2an trs dimainin.
* Orang yang pemalas:Orang yang ngupil pake penyedot debu
* Orang yang inovatif:Orang yang ngupil pake jari kaki
* Orang yang hi-tech:Orang yang ngupil pake kabel data
Lo termasuk yg mana?
Senin, 31 Mei 2010
Kepribadian dan Harapan
sepanjang hari
sesekali tersentak oleh suara ayam berkokok
mencari kawan dengan sebatang rokok
namun itu bukanlah harga untuk kedamaian sejati
hanya untuk penambah nikmat cerita yang takkan terbawa sampai mati
sepanjang malam
teringat suara ibu berkata
"tidurlah dan berdoa,
karena hari esok akan baik untuk sesuatu"
walaupun lebih nikmat mendengar suara tak jelas menentu
sungguhlah aku tak gila
hanya sedikit rusak dalam jiwa
untuk apa kalian berbisik di belakang
karena dalam diri telah menyadari kesalahan yang ter ulang
hanya,
cobalah menengok sebentar
karena mungkin kalian akan melihat sebuah sisi yang tak bertukar
sehingga mungkin,
suatu saat kalian akan membawa ku ke dunia jauh
di mana ada cerita dan rokok
sesekali tersentak oleh suara ayam berkokok
mencari kawan dengan sebatang rokok
namun itu bukanlah harga untuk kedamaian sejati
hanya untuk penambah nikmat cerita yang takkan terbawa sampai mati
sepanjang malam
teringat suara ibu berkata
"tidurlah dan berdoa,
karena hari esok akan baik untuk sesuatu"
walaupun lebih nikmat mendengar suara tak jelas menentu
sungguhlah aku tak gila
hanya sedikit rusak dalam jiwa
untuk apa kalian berbisik di belakang
karena dalam diri telah menyadari kesalahan yang ter ulang
hanya,
cobalah menengok sebentar
karena mungkin kalian akan melihat sebuah sisi yang tak bertukar
sehingga mungkin,
suatu saat kalian akan membawa ku ke dunia jauh
di mana ada cerita dan rokok
keinget aja
sekitar seminggu yang lewat saya berkunjung ke sebuah rumah seorang teman. sesampai disana saya diizinkan untk masuk dan menunggu di ruang tamu. sambil menunggu dia bersiap orangtuanya mengajak saya berbincang2.
ketika saya berbincang, orangtuanya mengambil beberapa buah air mineral yang sepertinya memang disiapkan ketika ada tamu. nach disinilah letak masalahnya.
ketika saa kecil dulu, biasanya ketika ada tamu, tuan rumah akan memberikan minuman bagi tamunya. dari teh manis sampai air putih.namun skrg byk tuan rumah mencoba mengambil sisi instan dan melupakan tradisi lama. ketika tuan rumah memberikan air mineral seolah-olah respect ke tamu sudah berkurang.
salah benarnya saya tak tahu, hanya teringat saja masa kecil.....
ketika saya berbincang, orangtuanya mengambil beberapa buah air mineral yang sepertinya memang disiapkan ketika ada tamu. nach disinilah letak masalahnya.
ketika saa kecil dulu, biasanya ketika ada tamu, tuan rumah akan memberikan minuman bagi tamunya. dari teh manis sampai air putih.namun skrg byk tuan rumah mencoba mengambil sisi instan dan melupakan tradisi lama. ketika tuan rumah memberikan air mineral seolah-olah respect ke tamu sudah berkurang.
salah benarnya saya tak tahu, hanya teringat saja masa kecil.....
Sakit
(lagi belajar bikin cerpen. mohon komennya ^_^ )
Aqila mengarahkan perhatiannya pada pemandangan di luar jendela, menyaksikan butir-butir air yang turun serentak meninggalkan langit. Batinnya semakin membiru ketika seorang anak yang dipangku oleh ayahnya melewati ruangan tempat ia berada. Ia kemudian menggenggam tangan kanan suaminya yang saat itu berdiam di atas perutnya sendiri. “Aku merindukan anak kita,” ucapnya.
Irsyad, pria yang telah menikahinya selama delapan tahun itu tak memberi jawaban. Ia hanya menganggukkan kepala – sebuah isyarat paham akan apa yang tengah dirasakan istrinya.
“Bagaimana ya kabarnya sekarang? Dia tak pernah mengabari kita lagi. Apa mungkin dia terlalu sibuk?” pandangannya masih tertuju ke luar jendela.
Pria paruh baya dan kurus itu tetap bersikap sama.
“Tentu kau masih ingat bagaimana dulu dia merengek-rengek di sampingku,” Aqila mulai tersenyum membayangkan anaknya. “Aku malah pura-pura tidur waktu dia minta dibacakan dongeng. Ha..ha..”
“Kau memang suka menggodanya,” Irsyad akhirnya bicara. Terpaksa.
“Ha..ha.. Dia semakin manis bila merengek seperti itu. Apalagi ketika ia memohon dengan suara lembutnya. Ah, manis sekali,”senyumnya semakin mengembang. Tak lama perempuan itu memindahkan posisi tubuhnya. Kali ini ia bersandar dengan sebuah bantal sebagai penopang punggungnya.
“Baru di tahun pertamanya sekolah dia sudah membanggakan kita. Aku terharu ketika namanya dipanggil untuk menerima penghargaan sebagai juara kelas. Ternyata kita tidak salah mendidiknya. Benar kan?”
“Ya, begitulah,” Irsyad mengusap wajahnya. Ia menjawab tanpa sedikit pun mengerti apa yang diucapkannya. Dadanya terasa semakin sesak setiap kali istrinya berbicara tentang putri mereka. Seketika timbul keinsafan dalam dirinya bahwa ia sama sekali tidak mampu memutar waktu kembali. Kembali ke sebuah masa di mana Tuhan benar-benar mendengarkan doanya.
“Mungkin kau tidak ingat. Siang itu aku sedang memasak masakan kesukaannya. Tiba-tiba dia datang dan memelukku dari belakang. Ia mengucapkan terima kasih berkali-kali padaku,” perempuan itu menatap wajah suaminya. “Aku jadi heran. Tidak biasanya dia seperti itu. Ternyata baru ku tahu kalu dia menjuarai lomba cerdas cermat tingkat Sekolah Dasar.” Ia tertawa. Susunan giginya yang tidak rata itu tampak jelas. Matanya berbinar.
Irsyad membalas tawa istrinya dengan segurat senyum simpul yang menyimpul mati hatinya. Telah berkali-kali ia dirundung putus asa saat berhadapan dengan kenyataan. Namun ia tetap mencoba kuat dengan tetap menahan api harapan dalam diri yang perlahan-lahan berjalan menuju redup. Sesaat ia beranjak meninggalkan istrinya yang tengah bersandar di atas tempat tidur itu untuk mengambil segelas air.
“Minumlah dulu supaya lebih tenang,” Irsyad kembali. Namun istrinya justru mengabaikan tawarannya. Ia sama sekali tidak haus. Ia masih ingin bercerita tentang buah hatinya, makhluk tercantik yang pernah ada dalam pikirannya.
“Aku ini Ibunya. Seharusnya dia sadar kalau aku tahu apa pun yang dirasakannya. Dia tak akan pernah bisa bersembunyi,” ia menggelengkan kepalanya dengan tetap menyuguhkan senyuman yang dari tadi belum pudar.
“Oh, ya. Waktu itu ia bersembunyi di balik pintu. Kita berdua pura-pura tidak melihatnya,” Irsyad mencoba mengikuti alur pembicaraan istrinya.
“Kau ini bagaimana? Maksud ku bukan itu. Masa kau tidak ingat lagi?” Aqila merengut dan menepuk paha suaminya itu.
“Maaf, Sayang. Itu kan sudah lama. Wajar saja bila aku tak begitu mengingatnya,” ia membalas dengan mengusap kepala istrinya itu. “Memangnya apa yang dia sembunyikan?”
Aqila kembali tersenyum. Berbicara tentang putrinya menjadi satu-satunya cara menngobati kesedihan dalam hatinya. “Aku pernah melihatnya senyum-senyum sendiri. Padahal waktu itu tidak ada siapa-siapa. Dan aku juga yakin buku yang ada di tangannya saat itu hanya buku pelajaran matematika. Tidak mungkin dia tersenyum membaca buku itu. Ha..ha..”
“Maksud mu?”
“Itu saat pertama kali ia jatuh cinta, Sayang. Saat itu aku langsung menemuinya dan ia terkejut melihat kedatanganku. Pipinya langsung memerah dan ia terlihat begitu manis. Aku benar-benar geli melihat tingkahnya. Ia tak mampu berkata-kata. Ia malah menyembunyikan wajahnya di balik buku itu. Aku mencoba menggodanya dengan menarik buku itu dari tangannya. Namun ia menariknya kembali. Aku semakin ketagihan mengodanya,” Aqila lalu menyandarkan kepalanya ke pundak suaminya. “Seperti ini. Ia akhirnya menyandarkan kepalanya di pundakku. Dan sebelah tangannya mendekap lenganku erat. Ia jatuh cinta pada teman satu kelasnya. Begitu yang ia katakan padaku.”
Lidah pria itu kelu. Ia sungguh tak ingin mendengarkan ucapan istirnya lagi. Tapi apa daya, ia tak mungkin meninggalkan perempuan itu. Tiba-tiba saja timbul hasratnya tuk mengumpat Tuhan. Tuhan seakan begitu kejam dengan melibatkannya dalam permainan kehidupan yang sama sekali tak diinginkannya. Tuhan seakan menggunakan kekuasaannya dengan semena-mena tanpa memberikannya kesempatan untuk memilih. Namun akhirnya ia kembali tersadar. Ia hanya seorang manusia yang harus menerima, bukan Tuhan yang dapat berbuat sekehendakNya.
“Ya sudah. Sekarang kau istirahat dulu. Nanti kita lanjutkan lagi.” Ia mencari jalan agar istrinya berhenti bercerita. Bukan lantaran ia membencinya istrinya. Ia hanya tak sanggup melihat keadaan pasangan jiwanya itu. Hari demi hari binar wajahnya semakin suram. Berat badannya merosot tajam. Ia terlihat ringkih. Sekitar matanya meninggalkan jejak hitam sebagai akibat dari kurang tidur dan melewatkan malam dengan tangisan.
“Aku belum mau tidur,” Aqila menolak
“Tapi kau harus istirahat.”
“Jangan memaksaku!” Aqila menaikkan suaranya. “Aku masih ingin bercerita tentang putri kita. Hanya dia yang kurindukan saat ini!” kali ini ia tidak tersenyum.
“Baiklah, baiklah. Kau tak perlu marah seperti itu. Mari kita lanjutkan ceritanya. Tapi setelah itu kau harus istirahat.” Walau berat, Irsyad akhirnya mengalah. Ia gagal dengan usaha pertama tuk mendiamkan istrinya.
“Aku pernah sakit hati pada mu. Sama seperti yang ku rasakan saat ini.” suaranya mengalir dingin.
“Mengapa? Apa yang telah ku perbuat saat itu?” Irsyad diliputi kebingungan.
“Jangan pura-pura tidak tahu. Kau yang memaksanya memilih kedokteran. Padahal ia sangat ingin menjadi seorang penari. Ia datang pada ku sambil menangis saat menceritakan hal ini.” Perempuan itu mengirim pandangan sinis pada suaminya. “Asal kau tahu. aku paling tidak bisa melihatnya menangis. Dia anakku satu-satunya. Tuhan tak akan memberikan yang kedua!”
“Ta, tapi bukankah itu baik untuknya?” Irsyad mencoba membela diri walau tak pernah tahu mengapa ia harus berbuat demikian.
“Itu baik untuk mu. Bukan untuknya!” perempuan itu benar-benar marah. “Setiap manusia berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri. Tak seorang pun boleh mengaturnya. Bahkan Tuhan sekali pun!” mukanya memerah.
“Kalau begitu aku minta maaf! Kau puas?!” Irsyad tak kuasa menahan sesak di hatinya. Spontan suaranya meninggi. Ia mengutuk dirinya sendiri yang tak mampu merubah keadaan.
Mendung di pelupuk mata perempuan itu akhirnya tumpah. Aqila semakin tak berdaya melihat amarah suaminya. ”Sudahlah, kau tak perlu mintaa maaf lagi. Kau sudah melakukannya dulu. Putri kita sudah memaafkan mu. Dia sendiri yang mengatakan kepada ku.” Perempuan itu menyeka air matanya.
“Maafkan aku. Aku hanya belum siap dengan keadaan ini,”
“Kau ini bicara apa. Belum siap bagaimana? Kita harus siap. Setelah kita keluar dari tempat ini, kita akan mencarinya. Aku ini Ibunya. Aku tahu dia masih merindukan kita,”
“Entahlah,”
“Ada apa denganmu. Kau tidak mencintainya lagi?”
“Bagaimana mungkin aku tidak mencintainya. Dia itu darah dagingku sendiri,”
“Lalu mengapa kau bersikap seperti ini? Kau harus berjanji padaku akan mencarinya bersama-sama,”
“Kau sudah lelah. Istirahatlah dulu. Nanti kita bicarakan lagi,”
“Kau harus berjanji padaku,”
“Aku mohon padamu. Istirahatlah,”
“Tapi kau harus berjanji padaku,” istrinya yang kali ini memohon. Air matanya mengalir kembali. Irsyad urung menjawab. Ia justru menatap raut wajah istrinya yang penuh duka itu. Itu pun ia paksakan. Sejurus kemudian ia mendekatkan wajahnya kepada istinya. Dikecupnya kening istrinya itu sebagai bentuk kepedihan yang luar biasa yang sedang ia rasakan. Tak lama berselang, dari arah pintu muncul seorang perawat.
“Pak Irsyad, bisa ke ruangan Dokter Maesa sebentar?”
Irsyad mengangguk. Ia meminta perawat itu untuk pergi terlebih dahulu. Pandangannya kembali tertuju pada istrinya yang kini sudah berbaring kembali. “Kau harus istirahat. Aku ingin keluar sebentar,” ucap Irsyad sembari kembali mengecup istrinya di bagian yang sama. “Kau jangan khawatir. Aku tidak akan meninggalkanmu,” ia melanjutkan ucapannya disertai senyuman.
Kali ini perempuan itu tidak bersuara. Perhatiannya kembali mengarah pada pemandangan di luar jendela, menyaksikan butir-butir air yang turun serentak meninggalkan langit.
***
“Begini, Pak Irsyad. Sepertinya istri anda harus berada di rumah sakit ini untuk waktu yang lebih lama lagi. Ini demi kebaikannya. Gangguan mental yang ia alami tak kunjung mengalami perubahan semenjak pertama kali ia datang kemari. Kami sudah mengusahakan yang terbaik. Namun dalam keadaan ini kita memang harus banyak bersabar,” ucap dokter Maesa.
“Saya juga merasakan hal itu, Dok. Setiap kali bertemu, ia selalu bercerita tentang kejadian yang sebenarnya tak pernah ia alami,” Irsyad menarik napasnya untuk sekedar menenangkan hatinya. “Terkadang saya berpikir, mengapa harus dia yang mengalami hal ini. Begitu banyakkah dosanya sehingga Tuhan menghukumnya dengan cara ini, Dok?” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Dokter Maesa tak sempat menjawab karena setelah itu Irsyad langsung bergerak keluar. Ia menelusuri lorong rumah sakit dengan langkah gontai. Pikirannya kemudian melayang ke masa lalu membayangkan bagaimana mereka berdua saling menguatkan satu sama lain saat setelah tujuh tahun menikah tak kunjung dikarunai keturunan. Barulah setahun berikutnya Tuhan memberikan jawaban atas doa mereka. Benih cinta yang diharapkan itu akhirnya benar-benar tumbuh dalam rahim istrinya Kebahagiaan serta harapan akan masa depan seketika menghampiri. Namun sayang, semua seakan lenyap tak berbekas saat bayi mungil yang baru saja muncul lewat perjuangan antara hidup dan mati itu, hanya diam tanpa sedikitpun mengirim tangisan kepada sepasang manusia yang bertahun-tahun menanti kedatangannya.
Padang, November 2009
Aqila mengarahkan perhatiannya pada pemandangan di luar jendela, menyaksikan butir-butir air yang turun serentak meninggalkan langit. Batinnya semakin membiru ketika seorang anak yang dipangku oleh ayahnya melewati ruangan tempat ia berada. Ia kemudian menggenggam tangan kanan suaminya yang saat itu berdiam di atas perutnya sendiri. “Aku merindukan anak kita,” ucapnya.
Irsyad, pria yang telah menikahinya selama delapan tahun itu tak memberi jawaban. Ia hanya menganggukkan kepala – sebuah isyarat paham akan apa yang tengah dirasakan istrinya.
“Bagaimana ya kabarnya sekarang? Dia tak pernah mengabari kita lagi. Apa mungkin dia terlalu sibuk?” pandangannya masih tertuju ke luar jendela.
Pria paruh baya dan kurus itu tetap bersikap sama.
“Tentu kau masih ingat bagaimana dulu dia merengek-rengek di sampingku,” Aqila mulai tersenyum membayangkan anaknya. “Aku malah pura-pura tidur waktu dia minta dibacakan dongeng. Ha..ha..”
“Kau memang suka menggodanya,” Irsyad akhirnya bicara. Terpaksa.
“Ha..ha.. Dia semakin manis bila merengek seperti itu. Apalagi ketika ia memohon dengan suara lembutnya. Ah, manis sekali,”senyumnya semakin mengembang. Tak lama perempuan itu memindahkan posisi tubuhnya. Kali ini ia bersandar dengan sebuah bantal sebagai penopang punggungnya.
“Baru di tahun pertamanya sekolah dia sudah membanggakan kita. Aku terharu ketika namanya dipanggil untuk menerima penghargaan sebagai juara kelas. Ternyata kita tidak salah mendidiknya. Benar kan?”
“Ya, begitulah,” Irsyad mengusap wajahnya. Ia menjawab tanpa sedikit pun mengerti apa yang diucapkannya. Dadanya terasa semakin sesak setiap kali istrinya berbicara tentang putri mereka. Seketika timbul keinsafan dalam dirinya bahwa ia sama sekali tidak mampu memutar waktu kembali. Kembali ke sebuah masa di mana Tuhan benar-benar mendengarkan doanya.
“Mungkin kau tidak ingat. Siang itu aku sedang memasak masakan kesukaannya. Tiba-tiba dia datang dan memelukku dari belakang. Ia mengucapkan terima kasih berkali-kali padaku,” perempuan itu menatap wajah suaminya. “Aku jadi heran. Tidak biasanya dia seperti itu. Ternyata baru ku tahu kalu dia menjuarai lomba cerdas cermat tingkat Sekolah Dasar.” Ia tertawa. Susunan giginya yang tidak rata itu tampak jelas. Matanya berbinar.
Irsyad membalas tawa istrinya dengan segurat senyum simpul yang menyimpul mati hatinya. Telah berkali-kali ia dirundung putus asa saat berhadapan dengan kenyataan. Namun ia tetap mencoba kuat dengan tetap menahan api harapan dalam diri yang perlahan-lahan berjalan menuju redup. Sesaat ia beranjak meninggalkan istrinya yang tengah bersandar di atas tempat tidur itu untuk mengambil segelas air.
“Minumlah dulu supaya lebih tenang,” Irsyad kembali. Namun istrinya justru mengabaikan tawarannya. Ia sama sekali tidak haus. Ia masih ingin bercerita tentang buah hatinya, makhluk tercantik yang pernah ada dalam pikirannya.
“Aku ini Ibunya. Seharusnya dia sadar kalau aku tahu apa pun yang dirasakannya. Dia tak akan pernah bisa bersembunyi,” ia menggelengkan kepalanya dengan tetap menyuguhkan senyuman yang dari tadi belum pudar.
“Oh, ya. Waktu itu ia bersembunyi di balik pintu. Kita berdua pura-pura tidak melihatnya,” Irsyad mencoba mengikuti alur pembicaraan istrinya.
“Kau ini bagaimana? Maksud ku bukan itu. Masa kau tidak ingat lagi?” Aqila merengut dan menepuk paha suaminya itu.
“Maaf, Sayang. Itu kan sudah lama. Wajar saja bila aku tak begitu mengingatnya,” ia membalas dengan mengusap kepala istrinya itu. “Memangnya apa yang dia sembunyikan?”
Aqila kembali tersenyum. Berbicara tentang putrinya menjadi satu-satunya cara menngobati kesedihan dalam hatinya. “Aku pernah melihatnya senyum-senyum sendiri. Padahal waktu itu tidak ada siapa-siapa. Dan aku juga yakin buku yang ada di tangannya saat itu hanya buku pelajaran matematika. Tidak mungkin dia tersenyum membaca buku itu. Ha..ha..”
“Maksud mu?”
“Itu saat pertama kali ia jatuh cinta, Sayang. Saat itu aku langsung menemuinya dan ia terkejut melihat kedatanganku. Pipinya langsung memerah dan ia terlihat begitu manis. Aku benar-benar geli melihat tingkahnya. Ia tak mampu berkata-kata. Ia malah menyembunyikan wajahnya di balik buku itu. Aku mencoba menggodanya dengan menarik buku itu dari tangannya. Namun ia menariknya kembali. Aku semakin ketagihan mengodanya,” Aqila lalu menyandarkan kepalanya ke pundak suaminya. “Seperti ini. Ia akhirnya menyandarkan kepalanya di pundakku. Dan sebelah tangannya mendekap lenganku erat. Ia jatuh cinta pada teman satu kelasnya. Begitu yang ia katakan padaku.”
Lidah pria itu kelu. Ia sungguh tak ingin mendengarkan ucapan istirnya lagi. Tapi apa daya, ia tak mungkin meninggalkan perempuan itu. Tiba-tiba saja timbul hasratnya tuk mengumpat Tuhan. Tuhan seakan begitu kejam dengan melibatkannya dalam permainan kehidupan yang sama sekali tak diinginkannya. Tuhan seakan menggunakan kekuasaannya dengan semena-mena tanpa memberikannya kesempatan untuk memilih. Namun akhirnya ia kembali tersadar. Ia hanya seorang manusia yang harus menerima, bukan Tuhan yang dapat berbuat sekehendakNya.
“Ya sudah. Sekarang kau istirahat dulu. Nanti kita lanjutkan lagi.” Ia mencari jalan agar istrinya berhenti bercerita. Bukan lantaran ia membencinya istrinya. Ia hanya tak sanggup melihat keadaan pasangan jiwanya itu. Hari demi hari binar wajahnya semakin suram. Berat badannya merosot tajam. Ia terlihat ringkih. Sekitar matanya meninggalkan jejak hitam sebagai akibat dari kurang tidur dan melewatkan malam dengan tangisan.
“Aku belum mau tidur,” Aqila menolak
“Tapi kau harus istirahat.”
“Jangan memaksaku!” Aqila menaikkan suaranya. “Aku masih ingin bercerita tentang putri kita. Hanya dia yang kurindukan saat ini!” kali ini ia tidak tersenyum.
“Baiklah, baiklah. Kau tak perlu marah seperti itu. Mari kita lanjutkan ceritanya. Tapi setelah itu kau harus istirahat.” Walau berat, Irsyad akhirnya mengalah. Ia gagal dengan usaha pertama tuk mendiamkan istrinya.
“Aku pernah sakit hati pada mu. Sama seperti yang ku rasakan saat ini.” suaranya mengalir dingin.
“Mengapa? Apa yang telah ku perbuat saat itu?” Irsyad diliputi kebingungan.
“Jangan pura-pura tidak tahu. Kau yang memaksanya memilih kedokteran. Padahal ia sangat ingin menjadi seorang penari. Ia datang pada ku sambil menangis saat menceritakan hal ini.” Perempuan itu mengirim pandangan sinis pada suaminya. “Asal kau tahu. aku paling tidak bisa melihatnya menangis. Dia anakku satu-satunya. Tuhan tak akan memberikan yang kedua!”
“Ta, tapi bukankah itu baik untuknya?” Irsyad mencoba membela diri walau tak pernah tahu mengapa ia harus berbuat demikian.
“Itu baik untuk mu. Bukan untuknya!” perempuan itu benar-benar marah. “Setiap manusia berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri. Tak seorang pun boleh mengaturnya. Bahkan Tuhan sekali pun!” mukanya memerah.
“Kalau begitu aku minta maaf! Kau puas?!” Irsyad tak kuasa menahan sesak di hatinya. Spontan suaranya meninggi. Ia mengutuk dirinya sendiri yang tak mampu merubah keadaan.
Mendung di pelupuk mata perempuan itu akhirnya tumpah. Aqila semakin tak berdaya melihat amarah suaminya. ”Sudahlah, kau tak perlu mintaa maaf lagi. Kau sudah melakukannya dulu. Putri kita sudah memaafkan mu. Dia sendiri yang mengatakan kepada ku.” Perempuan itu menyeka air matanya.
“Maafkan aku. Aku hanya belum siap dengan keadaan ini,”
“Kau ini bicara apa. Belum siap bagaimana? Kita harus siap. Setelah kita keluar dari tempat ini, kita akan mencarinya. Aku ini Ibunya. Aku tahu dia masih merindukan kita,”
“Entahlah,”
“Ada apa denganmu. Kau tidak mencintainya lagi?”
“Bagaimana mungkin aku tidak mencintainya. Dia itu darah dagingku sendiri,”
“Lalu mengapa kau bersikap seperti ini? Kau harus berjanji padaku akan mencarinya bersama-sama,”
“Kau sudah lelah. Istirahatlah dulu. Nanti kita bicarakan lagi,”
“Kau harus berjanji padaku,”
“Aku mohon padamu. Istirahatlah,”
“Tapi kau harus berjanji padaku,” istrinya yang kali ini memohon. Air matanya mengalir kembali. Irsyad urung menjawab. Ia justru menatap raut wajah istrinya yang penuh duka itu. Itu pun ia paksakan. Sejurus kemudian ia mendekatkan wajahnya kepada istinya. Dikecupnya kening istrinya itu sebagai bentuk kepedihan yang luar biasa yang sedang ia rasakan. Tak lama berselang, dari arah pintu muncul seorang perawat.
“Pak Irsyad, bisa ke ruangan Dokter Maesa sebentar?”
Irsyad mengangguk. Ia meminta perawat itu untuk pergi terlebih dahulu. Pandangannya kembali tertuju pada istrinya yang kini sudah berbaring kembali. “Kau harus istirahat. Aku ingin keluar sebentar,” ucap Irsyad sembari kembali mengecup istrinya di bagian yang sama. “Kau jangan khawatir. Aku tidak akan meninggalkanmu,” ia melanjutkan ucapannya disertai senyuman.
Kali ini perempuan itu tidak bersuara. Perhatiannya kembali mengarah pada pemandangan di luar jendela, menyaksikan butir-butir air yang turun serentak meninggalkan langit.
***
“Begini, Pak Irsyad. Sepertinya istri anda harus berada di rumah sakit ini untuk waktu yang lebih lama lagi. Ini demi kebaikannya. Gangguan mental yang ia alami tak kunjung mengalami perubahan semenjak pertama kali ia datang kemari. Kami sudah mengusahakan yang terbaik. Namun dalam keadaan ini kita memang harus banyak bersabar,” ucap dokter Maesa.
“Saya juga merasakan hal itu, Dok. Setiap kali bertemu, ia selalu bercerita tentang kejadian yang sebenarnya tak pernah ia alami,” Irsyad menarik napasnya untuk sekedar menenangkan hatinya. “Terkadang saya berpikir, mengapa harus dia yang mengalami hal ini. Begitu banyakkah dosanya sehingga Tuhan menghukumnya dengan cara ini, Dok?” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Dokter Maesa tak sempat menjawab karena setelah itu Irsyad langsung bergerak keluar. Ia menelusuri lorong rumah sakit dengan langkah gontai. Pikirannya kemudian melayang ke masa lalu membayangkan bagaimana mereka berdua saling menguatkan satu sama lain saat setelah tujuh tahun menikah tak kunjung dikarunai keturunan. Barulah setahun berikutnya Tuhan memberikan jawaban atas doa mereka. Benih cinta yang diharapkan itu akhirnya benar-benar tumbuh dalam rahim istrinya Kebahagiaan serta harapan akan masa depan seketika menghampiri. Namun sayang, semua seakan lenyap tak berbekas saat bayi mungil yang baru saja muncul lewat perjuangan antara hidup dan mati itu, hanya diam tanpa sedikitpun mengirim tangisan kepada sepasang manusia yang bertahun-tahun menanti kedatangannya.
Padang, November 2009
Cerita Kita: Dongeng Olan
(kurang..)
Malam itu sejumlah makhluk Tuhan paling seksi tengah duduk mengitari sebuah api unggun nan kecil. Walau kecil, panas yang dihantarkannya cukuplah sesaat menyekap udara dingin Tak jauh di belakang mereka berjejer sejumlah tenda berwarna dan berwarni yang dipasangi sejak tadi sore. Nah, yang saya maksudkan dengan mereka dalam hal ini adalah Isna, Yauma, Ami, Dela, Arif, Andik, Pak Ikrar, dan…Olan.
Ha, kok ada Olan? Begini, jauh sebelum hari ini pihak SLB telah berencana mengadakan perkemahan malam Minggu. Alasan dipilih malam Minggu karena
kalau malam Jum’at arwah-arwah sedang bergentayangan. Kalau malam Sabtu Pak Ikrar berkencan. Dan kalau malam Senen besoknya kata Mama Loren akan terjadi gempa. Makanya pilihan jatuh pada malam Minggu. Seperti lagunya Afgan: Tujuh hari semalam Minggu hidup penuh warna. Itu saja alasannya. Tidak ada yang special.
Kehadiran Olan di sini merupakan hasil dari keputusan pihak sekolah. Dia diberi mandate untuk menjaga murid-murid yang imut-imut dan lucu-lucu itu dari godaan syaiton yang terkutuk. Sesuai sekali dengan profesinya, yakni baby-sitter sekaligus ustadzah. Jika mulid-mulid itu ingin minum cucu, Olan yang bikinin. Kalau meleka ingin mamam naci goyeng, Olan yang macakin. Kalau meleka ingin ngaji, Olan yang ngajalin. Dan kalau meleka ingin bokel, halam hukumnya kalau Olan yang nyebokin.
Lagipula, tidak mungkin menyerahkan tugas ini pada Pak Ikrar semata. Guru-guru lain berhalangan hadir. Terlebih lagi Pak Retmon. Dia sering marah belakangan ini. Setelah diusut ternyata penyebabnya adalah Cerita Kita yang sebelumnya. Sejak saat itu malas saja hatinya mengikuti acara SLB. Ia memutuskan tuk pulang ke Solok. Namun ternyata di tengah jalan dia malah jalan-jalan ke Danau Kembar. Mengapa bisa? Mungkin karena ada seseorang yang menariknya.
Itulah mengapa ada Olan di perkemahan itu. Selain senang melaksanakan kewajibannya, perempuan manis yang dagunya aduhai itu kabarnya juga senang berdekatan dengan Pak Ikrar. Itu cuma kabarnya. Jangan diseriusi ah. Dibawa santai sadja.
“Baiklah, Anak – anak. Malam semakin larut. Sudah saatnya kalian tidur dan kembali ke tenda masing-masing,” perintah Pak Ikrar.
“Tapi sebelum itu kalian ingatlah pesan Bapak yang satu ini. Hidup itu pilihan, Anak-anak. Mau jomblo, itu pilihan. Punya kekasih, itu juga pilihan. Pilhan itu bersifat dinamis. Maksudnya disesuaikan dengan perubahan semester. Kalian mengerti?”
“Mengerti, Paaaakk,” jawab mereka.
“Tapi, Pak.” Isna menyela
“Ya, ada apa, Isna? Katakan saja sejujurnya. Kamu ga usah sungkan,”
“Isna ga bisa tidur,” ia cemberut
“Lah, kok bisa sama?” tukas Yauma
“Mungkinkah ini kebetulan semata?” Arif ikutan
“Tentu saja tidak, Saudara,” Andik menjawab.
“Oh, Tuhan bersama kita,” arah pembicaraan Ami entah kemana.
“Semua terserah padamu. Aku begini adanya..” waduh, mengapa pula si Dela menyanyikan lagunya Broery Marantika.
Pak Ikrar pun bingung dibuatnya. Serempak keenam murid itu tidak bisa tidur. Sungguh sulit dicerna oleh logika. Seperti cinta sadja. Lalu apakah kebingungan Pak Ikrar tidak menemui jalan keluar? Ada dong. Itulah mengapa ada Olan di sini. Masalah seperti ini sudah biasa dialami Olan. Tentu saja ia tahu apa yang harus dilakukan. Maka dari itu dia datang menemui Pak Ikrar.
“Bang Ikrar, eh Pak Ikrar,” seketika pipi Olan merona. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Ya, ada apa dek Olan. Kamu jangan malu. Tak usahlah menutupi muka begitu. Sia-sia saja nantinya wajah manis pemberian Tuhan itu,” Pak Ikrar mengeluarkan ilmunya.
Sesaat mereka berdiskusi hingga sampai pada sebuah kesimpulan yakni membacakan sebuah dongeng pengantar tidur.
“Anak-anak, kalian mau nggak kalo Tante Olan bacakan sebuah dongeng?” Olan melakukan pendekatan persuasive.
“Mauuuuuuu,” mereka serempak menjawab.
“Dela dongeng pisang ya, Tante,” Dela menambahkan.
“Stafiruloh. Itu goreng pisang, Dela. Bukan dongeng pisang. Sekarang Tante lagi ga jualan. Kamu dengar sajalah Tante membaca dongeng ya?” Olan geram, tapi tetap manis.
Tak lama berselang, sesuai instruksi Olan, anak-anak itu telah duduk dengan manis, semanis Olan. Dan dengan membaca bismillah, dongeng yang berjudul El Pronosticador (Sang Peramal) itu pun dibacakan.
-0-
>> Dahulu kala di negeri Spanyol hiduplah seorang peramal yang terkenal akan ramalannya. Terang saja, namanya juga peramal. Kalau terkenal karena masakannya tentulah Rudy Choirudin ia diberi nama. Dulu ketika rambutnya urakan, ia sering dipanggil gila. Lalu setelah rambutnya mirip Christiano Ronaldo, ia langsung dipanggil crazy. Ia bangga dengan perubahan panggilan itu meski tak sedikitpun mengalami perubahan makna. Atas rasa bangga itu, di sepanjang jalan ia selalu berkata,”I use Clear for men!”
Peramal itu tinggal di sebuah desa bernama Pueblo Notable (Desa Luar biasa). Desa itu masih termasuk kawasan Barcelona, sebuah kota yang dianggap paling mempesona setelah Paris dan Milan. Posisi desa itu tak jauh dari sebuah tempat yang nantinya bernama museum Picasso di Montcada yang terlebih dahulu melewati Las Ramblas, sebuah kawasan yang sering dipadati para seniman jalanan.
Ia tinggal di sebuah pondok kecil yang di halaman belakangannya ditumbuhi berbagai macam buah-buahan kecuali buah hati. Di depannya terdapat sebuah kedai mini. Kedai yang dijaga oleh seorang asisten inilah yang nantinya dijadikan tempat untuk menjual buah-buahan tersebut. Juga terdapat sebuah plang nama yang terpasang di depan pondok itu yang bertuliskan; PAPA LORENZ. MERAMAL MASALAH TANPA MASALAH.
Peramal itu memiliki nama lengkap Armando Khadafi de Lorenz. Ia peranakan campuran Spanyol dan Lebanon Selatan. Makanya terselip nama Khadafi di antara dua nama Spanyol itu. Namun begitu ia lebih terkenal dengan panggilan Papa Lorenz. Satu hal lagi yang membuat ia terkenal adalah cara meramalnya. Ia menggunakan buah-buahan sebagai media. Setiap pasien ia minta memilih satu jenis buahan. Kemudian buah itu dimantrainya dan perlahan dari dalam buah itu muncul sebuah gulungan kertas. Di dalam kertas itulah tertulis jawaban atas pertanyaan pasien.
Siang itu, ia tengah menikmati gambas ala plancha sebagai hidangan makan siang. Udang bakar yang dicocor dengan mayonese itu menjadi makanan favoritnya. Selain rasanya yang luar biasa, harganya yang sangat mahal menjadi salah satu alasan ia menyukai makanan itu. Sombong sekali. Namun ketika sedang asyiknya menikmati makan siang, terdengar olehnya ketukan pintu dari arah depan.
“Tok..tok..Assalamualaikum
,” ada seorang pasien rupanya.
“Alaikumsalam. Siapa ya?” jawab Papa Lorenz
“Ini saya, Pap. Pasien anda. Saya ingin dilamar, eh diramal,”
“Oh, begindang. Ya udah, silahkan masuk.”
Papa Lorenz bergegas menuju meja kerjanya. Tidak ada bola kristal penuh tipu muslihat, yang kalau disentuh memunculkan aliran listrik, di atas mejanya. Apalagi kartu tarot. Sudah ketinggalan jaman katanya. Ia kemudian mempersilahkan pasiennya itu duduk.
“Nama anda siapa?”
“Nama saya Yessenia Dita Hernandez,” jawabnya malu-malu.
“Panggilannnya?”
“Manohara,”
Papa Lorenz langsung tercengang
“Anda gila ya?” Papa bertanya.
“Lah, kok Papa bilang saya gila. Jangan malaweh-laweh gitu dong,”
“Hey, dengar. Segila-gilanya saya, anda lebh gila. Masa nama sepanjang dan sespanyol itu panggilannya Manohara? Avavula tu,”
“Suka-suka saya dong mau pacaran sama siapa. Mau teman satu angkatan kek. Beda jurusan kek. Senior satu jurusan kek. Itu terserah saya. Cinta itu soal hati, Bung. Tak bisa dipaksa!” Manohara emosi.
“Woi, anda ngomong sama siapa sih? Serius amat. Kapan saya tanya soal pacaran sama anda? Yang saya tanyakan itu nama anda!”
“Eh, iya ya? Duh maaf. Mulut saya terlepas,” ia berangsur-angsur sadar.
“Mulut terlepas? Maksudnya?” Papa bingung.
“Keceplosan maksudnya,”
“Sudahlah. Tidak jadi saya meramal anda. Cari saja peramal lain. Tuh, si Mama Loren, saingan saya. Pergi sana,” Papa emosi. Papa ga pulang. Papa ga dapat uang.
“Iii..ihh..busuak ati gitu,” Manohara kecewa. Pulang sadjalah dia.
Papa Lorenz berusaha meredam emosinya dengan meminum segelas Clara ditambah batu es. Bir yang dicampur dengan lemon ini hanya ia minum dalam keadaan tertentu. Contohnya saat ini. Baru sadja dua tegukan dinikmatinya, seorang pasien datang lagi. Dan tentu saja Papa Lorenz langsung menemuinya.
“Como esta usted, Senor?” yang artinya apa kabar, Bung.
“Yo estoy bien. Gracias.” Jawab si pasien yang kalau diterjemahkan menjadi I’m fine. Thank you.
“Nama anda?” tanya Papa.
“Gino Gautier Sanchez, Papa.”
“Masalah anda?”
“Saya masih mencintai perempuan itu, Papa. Hauuuu..” dia menangis.
“Trus?”
“Saya ingin tahu apakah dia juga masih mencintai saya? Hauuuu..” dia menangis lagi.
“Baiklah. Sekarang kamu pilih satu di antara buahan yang berada di sebelah kamu itu. Lalu serahkan kepada saya,” titah Papa Lorenz.
“Hauuuuu..”
“Hei, kampret. Ambil buah itu. Jangan hauu, hauu, mulu.”
Tak lama berselang Papa Lorenz menerima buah strawberry pemberian Gino Sanchez. Ia mulai membaca sejumlah mantra. Kemudian strawberry itu perlahan-lahan membelah sendiri. Dan munculah sebuah gulungan kertas kecil. Papa Lorenz dengan sigap mengambilnya dan dengan sigap pula ia membacanya.
“Hmm, saudara Gino Sanchez.” Papa Loren jeda sejenak. Ia menggaruk dagunya. “Sebenarnyaaa….” Papa menggantung jawaban.
“Sebenarnyaaa?” Gino penasaran
“Dia ituuu….” Masih menggantung.
“Dia ituu?” Gino semakin penasaran.
“Masiiih….” Sedikit lagi.
“Masiiih?” Gino menahan kesabaran
“Ciiin…..” sedetik lagi
“Ciiin?” Gino sudah tak tahan.
“Cin cau ni hek. Hayyaaa. Wong fei hung tong sam chong!” Tiba-tiba dari arah luar terdengar suara gaduh. Terlihat seorang saudagar Cina memarahi anak buahnya. Papa Lorenz yang menyaksikan penasaran dibuatnya. Maka ia bergegas keluar dan meinggalkan Gino Sanchez begitu sadja.
Gino Sanchez yang ditinggalkan semakin depresi. Sedikit kata lagi maka ia akan mengetahui perasaan perempuan itu. Ia tak berani berspekulasi. Ingin sekali ia melanjutkan kata yang menggantung itu menjadi cinta. Namun ia ragu. Jikalau memang cinta, cinta kepada siapa. Bisa saja perempuan itu cinta damai, atau cinta laura, atau cinta ini membunuhku, atau juga cintaku bukanlah cinta biasa. Makanya Gino sangat menantikan jawaban Papa Lorenz. Besar sekali harapannya peramal itu berkata,”Sebenarnya dia masih cinta sama kamu,” Tapi apalah daya, keadaan sepertinya belum mengijinkan.
“Halah, ada-ada saja tuh orang Cina. Bikin keributan di depan tempat saya. Cuih, mengganggu saja,” Papa Lorenz kembali ke dalam
“Jadi bagaimana dengan ramalan saya, Papa?” Gino Sanchez masih berharap.
“Oh, iya. Ramalan kamu. Duh, gimana ya saudara Gino,” Papa garuk-garuk kepala.
“Gimana apanya, Papa?”
“Gara-gara keributan tadi wangsit saya jadi hilang,”
“Nggak bisa diulangi lagi, Papa?
“Itulah bedanya diramal sama minum obat. Kalau minum obat bisa tiga kali sehari. Kalau diramal hanya bisa sekali. Sudah ada ketentuannya,”
“Jadi ga bisa lagi? Berarti besok masih bisa kan?” harapan Gino belum luntur.
“Nah, itu dia masalahnya. Besok saya mau naik haji. Ntar malam saya harus siap-siap. Mungkin sebulan lagi saya kembali. Maaf, Gino Sanchez. Kali ini saya tidak bisa membantu,”
Hati Gino Sanchez semakin remuk. Niat hati ingin berjatuh cinta, justru ia jatuh karena cinta. Oh, begitu pahitkah rasanya bila hati dipatahkan. Tidur tak nyenyak, makan tak kenyang. Bertanya ia pada langit, namun langit tak mendengar. Bertanya ia pada rumput yang bergoyang, Ebiet G. Ade malah berang. Bertanya ia pada Buk Susi, “Nanti sajalah. Saya sedang sibuk,” begitu jawabannya.
Rasa putus asa mulai menghampiri Gino. Ia berlutut. Pandangannya jatuh ke bawah. Perlahan-lahan air muncul dari matanya mengaliri pipi. Sesaat ia sempatkan membuka dompetnya tuk menatap kembali foto perempuan yang pernah singgah di hatinya itu,
“Haruskah ku mati karenamu? Terkubur dalam kesedihan sepanjang waktu? Haruskah kurelakan hidupku hanya demi cinta yang mungkin bisa membunuhku?” begitu ucapnya pada foto itu sambil terisak-isak.
Lalu seakan foto itu tak tinggal diam. Ia menjawab tanya Gino Sanchez,
“Kenanglah diriku yang juga mencintaimu. Kenanglah cinta kita yang tak mungkin bersama, slamanya,” foto itu pun mengeluarkan air mata.
“Haauuuuu….”
Papa Lorenz yang sudah ahli soal ilmu cinta mencintai ini mengerti akan apa yang tengah dirasakan Gino Sanchez. Ia tak perlu berpikir panjang untuk mendatangi Gino segera.
“Sudahlah, Anak muda. Kita memang harus menerima kenyataan sekalipun pahit terasa. Hanya itu satu-satunya pilihan. Jatuh cinta itu tidak salah. Namun hasrat ingin selalu memiliki itu terkadang yang jadi masalah,”
“Lalu saya harus bagaimana, Papa? Melupakannya?”
“Saya tidak memintamu untuk melupakannya. Biarlah waktu yang bekerja dalam hal ini. Akan lebih baik bila saat ini kamu belajar tuk mencintai dirimu sendiri. Orang lain boleh berkata cinta padamu. Tapi ketika ia pergi apa yang tersisa? Hanya pilu,”
“Pilu itu sejenis penyakit ya, Papa?”
“Itu flu, Iblis!” Papa Lorenz menahan emosi. “Hanya itu pesan saya. Cintailah dirimu sendiri, maka pada saat itu kau akan benar-benar mengerti bagaimana cinta itu sebenarnya,”
“Tapi, Papa. Itu terlalu sulit,”
“Sulit mana sama soal CPNS?”
“Wah, kayanya lebih sulit tes CPNS, Papa. Ngomong-ngomong Papa ikut tes CPNS daerah mana?”
“Kalau saya milih Pariaman, Gin. Kabarnya sih peluang di sana lebih besar dan lebih bersih,”
“Bersih mana sama Padang?”
“Kalau dibandingkan dengan Pariaman, Padang mah lewat,”
“Lewat mana?”
“Lubuk Buaya,”
“Wah, jauh ya,”
“Masih jauh Pengambiran,.”
“Mang dari Air Tawar ke Pengambiran berapa lama?”
“Gak selama dari Batusangkar ke warnet Azzam,”
“Kalau begitu masih mendingan Aur Duri ke Andalas ya?”
“Beda tipislah dari Solok ke Belimbing,”
“Kalau Solok ke Palembang jauh nggak?”
“Wah kalau itu jalannya berliku-liku. Rumit sekali, Gin. Bisa dekat, bisa jauh,”
“Hm, masih lebih baik Payakumbuh ke Siteba kayanya.”
“Ga juga. Soalnya Payukumbuh ga mau ke Siteba. Justru Siteba yang sangat berharap Payakumbuh mau datang,”
“Mang Siteba pernah kirim sms ke Payakumbuh?”
“Pernah lah. Tujuh sms malah. Tapi anehnya Siteba bilang salah kirim,”
“Reaksinya Payakumbuh?”
“Dia Cuma tersenyum saja.Bangga hatinya selagi masih ada yang menyukainya,”
“Ckckck, padahal Payakumbuh dan Siteba serasi sekali ya. Semua pihak mendukung loh. Semoga saja cinta mereka bisa bertemu,” <<
-0-
Olan memutuskan untuk tidak meneruskan membaca dongeng itu. Ia sangat bingung lalu bergumam,”Dongeng apa ini?”. Wajar bila ia berkata demikian. Lihatlah jalan cerita dongeng itu yang entah kemana. Sudahlah tidak mendidik, inti ceritanya tak pula masuk di akal. Kalau dilanjutkan bisa berdampak buruk bagi perkembangan jiwa para generasi muda Republik Indonesia merdeka yang kucinta, kujaga,dan kubelai mesra.
Keputusan Olan seakan diamini oleh keadaan. Dia memang tidak perlu lagi membaca dongeng itu karena para murid beserta Pak Ikrar sudah tidur dari tadi. Olan menutup buku dongeng tersebut. Ia berdiri untuk sejenak meregangkan otot kakinya. Saat itu ia menyaksikan wajah-wajah imut, lugu, dan tak berdosa yang sedang mendatangi mimpi mereka masing-masing. Terbayang-bayang olehnya kemajuan Indonesia bila suau hari nanti ditangani oleh anak-anak seperti itu. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah Pak Ikrar. Cukup lama ia menatap wajah pria tampan itu hingga akhirnya berujar,
“It’s complicated,”
Malam itu sejumlah makhluk Tuhan paling seksi tengah duduk mengitari sebuah api unggun nan kecil. Walau kecil, panas yang dihantarkannya cukuplah sesaat menyekap udara dingin Tak jauh di belakang mereka berjejer sejumlah tenda berwarna dan berwarni yang dipasangi sejak tadi sore. Nah, yang saya maksudkan dengan mereka dalam hal ini adalah Isna, Yauma, Ami, Dela, Arif, Andik, Pak Ikrar, dan…Olan.
Ha, kok ada Olan? Begini, jauh sebelum hari ini pihak SLB telah berencana mengadakan perkemahan malam Minggu. Alasan dipilih malam Minggu karena
kalau malam Jum’at arwah-arwah sedang bergentayangan. Kalau malam Sabtu Pak Ikrar berkencan. Dan kalau malam Senen besoknya kata Mama Loren akan terjadi gempa. Makanya pilihan jatuh pada malam Minggu. Seperti lagunya Afgan: Tujuh hari semalam Minggu hidup penuh warna. Itu saja alasannya. Tidak ada yang special.
Kehadiran Olan di sini merupakan hasil dari keputusan pihak sekolah. Dia diberi mandate untuk menjaga murid-murid yang imut-imut dan lucu-lucu itu dari godaan syaiton yang terkutuk. Sesuai sekali dengan profesinya, yakni baby-sitter sekaligus ustadzah. Jika mulid-mulid itu ingin minum cucu, Olan yang bikinin. Kalau meleka ingin mamam naci goyeng, Olan yang macakin. Kalau meleka ingin ngaji, Olan yang ngajalin. Dan kalau meleka ingin bokel, halam hukumnya kalau Olan yang nyebokin.
Lagipula, tidak mungkin menyerahkan tugas ini pada Pak Ikrar semata. Guru-guru lain berhalangan hadir. Terlebih lagi Pak Retmon. Dia sering marah belakangan ini. Setelah diusut ternyata penyebabnya adalah Cerita Kita yang sebelumnya. Sejak saat itu malas saja hatinya mengikuti acara SLB. Ia memutuskan tuk pulang ke Solok. Namun ternyata di tengah jalan dia malah jalan-jalan ke Danau Kembar. Mengapa bisa? Mungkin karena ada seseorang yang menariknya.
Itulah mengapa ada Olan di perkemahan itu. Selain senang melaksanakan kewajibannya, perempuan manis yang dagunya aduhai itu kabarnya juga senang berdekatan dengan Pak Ikrar. Itu cuma kabarnya. Jangan diseriusi ah. Dibawa santai sadja.
“Baiklah, Anak – anak. Malam semakin larut. Sudah saatnya kalian tidur dan kembali ke tenda masing-masing,” perintah Pak Ikrar.
“Tapi sebelum itu kalian ingatlah pesan Bapak yang satu ini. Hidup itu pilihan, Anak-anak. Mau jomblo, itu pilihan. Punya kekasih, itu juga pilihan. Pilhan itu bersifat dinamis. Maksudnya disesuaikan dengan perubahan semester. Kalian mengerti?”
“Mengerti, Paaaakk,” jawab mereka.
“Tapi, Pak.” Isna menyela
“Ya, ada apa, Isna? Katakan saja sejujurnya. Kamu ga usah sungkan,”
“Isna ga bisa tidur,” ia cemberut
“Lah, kok bisa sama?” tukas Yauma
“Mungkinkah ini kebetulan semata?” Arif ikutan
“Tentu saja tidak, Saudara,” Andik menjawab.
“Oh, Tuhan bersama kita,” arah pembicaraan Ami entah kemana.
“Semua terserah padamu. Aku begini adanya..” waduh, mengapa pula si Dela menyanyikan lagunya Broery Marantika.
Pak Ikrar pun bingung dibuatnya. Serempak keenam murid itu tidak bisa tidur. Sungguh sulit dicerna oleh logika. Seperti cinta sadja. Lalu apakah kebingungan Pak Ikrar tidak menemui jalan keluar? Ada dong. Itulah mengapa ada Olan di sini. Masalah seperti ini sudah biasa dialami Olan. Tentu saja ia tahu apa yang harus dilakukan. Maka dari itu dia datang menemui Pak Ikrar.
“Bang Ikrar, eh Pak Ikrar,” seketika pipi Olan merona. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Ya, ada apa dek Olan. Kamu jangan malu. Tak usahlah menutupi muka begitu. Sia-sia saja nantinya wajah manis pemberian Tuhan itu,” Pak Ikrar mengeluarkan ilmunya.
Sesaat mereka berdiskusi hingga sampai pada sebuah kesimpulan yakni membacakan sebuah dongeng pengantar tidur.
“Anak-anak, kalian mau nggak kalo Tante Olan bacakan sebuah dongeng?” Olan melakukan pendekatan persuasive.
“Mauuuuuuu,” mereka serempak menjawab.
“Dela dongeng pisang ya, Tante,” Dela menambahkan.
“Stafiruloh. Itu goreng pisang, Dela. Bukan dongeng pisang. Sekarang Tante lagi ga jualan. Kamu dengar sajalah Tante membaca dongeng ya?” Olan geram, tapi tetap manis.
Tak lama berselang, sesuai instruksi Olan, anak-anak itu telah duduk dengan manis, semanis Olan. Dan dengan membaca bismillah, dongeng yang berjudul El Pronosticador (Sang Peramal) itu pun dibacakan.
-0-
>> Dahulu kala di negeri Spanyol hiduplah seorang peramal yang terkenal akan ramalannya. Terang saja, namanya juga peramal. Kalau terkenal karena masakannya tentulah Rudy Choirudin ia diberi nama. Dulu ketika rambutnya urakan, ia sering dipanggil gila. Lalu setelah rambutnya mirip Christiano Ronaldo, ia langsung dipanggil crazy. Ia bangga dengan perubahan panggilan itu meski tak sedikitpun mengalami perubahan makna. Atas rasa bangga itu, di sepanjang jalan ia selalu berkata,”I use Clear for men!”
Peramal itu tinggal di sebuah desa bernama Pueblo Notable (Desa Luar biasa). Desa itu masih termasuk kawasan Barcelona, sebuah kota yang dianggap paling mempesona setelah Paris dan Milan. Posisi desa itu tak jauh dari sebuah tempat yang nantinya bernama museum Picasso di Montcada yang terlebih dahulu melewati Las Ramblas, sebuah kawasan yang sering dipadati para seniman jalanan.
Ia tinggal di sebuah pondok kecil yang di halaman belakangannya ditumbuhi berbagai macam buah-buahan kecuali buah hati. Di depannya terdapat sebuah kedai mini. Kedai yang dijaga oleh seorang asisten inilah yang nantinya dijadikan tempat untuk menjual buah-buahan tersebut. Juga terdapat sebuah plang nama yang terpasang di depan pondok itu yang bertuliskan; PAPA LORENZ. MERAMAL MASALAH TANPA MASALAH.
Peramal itu memiliki nama lengkap Armando Khadafi de Lorenz. Ia peranakan campuran Spanyol dan Lebanon Selatan. Makanya terselip nama Khadafi di antara dua nama Spanyol itu. Namun begitu ia lebih terkenal dengan panggilan Papa Lorenz. Satu hal lagi yang membuat ia terkenal adalah cara meramalnya. Ia menggunakan buah-buahan sebagai media. Setiap pasien ia minta memilih satu jenis buahan. Kemudian buah itu dimantrainya dan perlahan dari dalam buah itu muncul sebuah gulungan kertas. Di dalam kertas itulah tertulis jawaban atas pertanyaan pasien.
Siang itu, ia tengah menikmati gambas ala plancha sebagai hidangan makan siang. Udang bakar yang dicocor dengan mayonese itu menjadi makanan favoritnya. Selain rasanya yang luar biasa, harganya yang sangat mahal menjadi salah satu alasan ia menyukai makanan itu. Sombong sekali. Namun ketika sedang asyiknya menikmati makan siang, terdengar olehnya ketukan pintu dari arah depan.
“Tok..tok..Assalamualaikum
“Alaikumsalam. Siapa ya?” jawab Papa Lorenz
“Ini saya, Pap. Pasien anda. Saya ingin dilamar, eh diramal,”
“Oh, begindang. Ya udah, silahkan masuk.”
Papa Lorenz bergegas menuju meja kerjanya. Tidak ada bola kristal penuh tipu muslihat, yang kalau disentuh memunculkan aliran listrik, di atas mejanya. Apalagi kartu tarot. Sudah ketinggalan jaman katanya. Ia kemudian mempersilahkan pasiennya itu duduk.
“Nama anda siapa?”
“Nama saya Yessenia Dita Hernandez,” jawabnya malu-malu.
“Panggilannnya?”
“Manohara,”
Papa Lorenz langsung tercengang
“Anda gila ya?” Papa bertanya.
“Lah, kok Papa bilang saya gila. Jangan malaweh-laweh gitu dong,”
“Hey, dengar. Segila-gilanya saya, anda lebh gila. Masa nama sepanjang dan sespanyol itu panggilannya Manohara? Avavula tu,”
“Suka-suka saya dong mau pacaran sama siapa. Mau teman satu angkatan kek. Beda jurusan kek. Senior satu jurusan kek. Itu terserah saya. Cinta itu soal hati, Bung. Tak bisa dipaksa!” Manohara emosi.
“Woi, anda ngomong sama siapa sih? Serius amat. Kapan saya tanya soal pacaran sama anda? Yang saya tanyakan itu nama anda!”
“Eh, iya ya? Duh maaf. Mulut saya terlepas,” ia berangsur-angsur sadar.
“Mulut terlepas? Maksudnya?” Papa bingung.
“Keceplosan maksudnya,”
“Sudahlah. Tidak jadi saya meramal anda. Cari saja peramal lain. Tuh, si Mama Loren, saingan saya. Pergi sana,” Papa emosi. Papa ga pulang. Papa ga dapat uang.
“Iii..ihh..busuak ati gitu,” Manohara kecewa. Pulang sadjalah dia.
Papa Lorenz berusaha meredam emosinya dengan meminum segelas Clara ditambah batu es. Bir yang dicampur dengan lemon ini hanya ia minum dalam keadaan tertentu. Contohnya saat ini. Baru sadja dua tegukan dinikmatinya, seorang pasien datang lagi. Dan tentu saja Papa Lorenz langsung menemuinya.
“Como esta usted, Senor?” yang artinya apa kabar, Bung.
“Yo estoy bien. Gracias.” Jawab si pasien yang kalau diterjemahkan menjadi I’m fine. Thank you.
“Nama anda?” tanya Papa.
“Gino Gautier Sanchez, Papa.”
“Masalah anda?”
“Saya masih mencintai perempuan itu, Papa. Hauuuu..” dia menangis.
“Trus?”
“Saya ingin tahu apakah dia juga masih mencintai saya? Hauuuu..” dia menangis lagi.
“Baiklah. Sekarang kamu pilih satu di antara buahan yang berada di sebelah kamu itu. Lalu serahkan kepada saya,” titah Papa Lorenz.
“Hauuuuu..”
“Hei, kampret. Ambil buah itu. Jangan hauu, hauu, mulu.”
Tak lama berselang Papa Lorenz menerima buah strawberry pemberian Gino Sanchez. Ia mulai membaca sejumlah mantra. Kemudian strawberry itu perlahan-lahan membelah sendiri. Dan munculah sebuah gulungan kertas kecil. Papa Lorenz dengan sigap mengambilnya dan dengan sigap pula ia membacanya.
“Hmm, saudara Gino Sanchez.” Papa Loren jeda sejenak. Ia menggaruk dagunya. “Sebenarnyaaa….” Papa menggantung jawaban.
“Sebenarnyaaa?” Gino penasaran
“Dia ituuu….” Masih menggantung.
“Dia ituu?” Gino semakin penasaran.
“Masiiih….” Sedikit lagi.
“Masiiih?” Gino menahan kesabaran
“Ciiin…..” sedetik lagi
“Ciiin?” Gino sudah tak tahan.
“Cin cau ni hek. Hayyaaa. Wong fei hung tong sam chong!” Tiba-tiba dari arah luar terdengar suara gaduh. Terlihat seorang saudagar Cina memarahi anak buahnya. Papa Lorenz yang menyaksikan penasaran dibuatnya. Maka ia bergegas keluar dan meinggalkan Gino Sanchez begitu sadja.
Gino Sanchez yang ditinggalkan semakin depresi. Sedikit kata lagi maka ia akan mengetahui perasaan perempuan itu. Ia tak berani berspekulasi. Ingin sekali ia melanjutkan kata yang menggantung itu menjadi cinta. Namun ia ragu. Jikalau memang cinta, cinta kepada siapa. Bisa saja perempuan itu cinta damai, atau cinta laura, atau cinta ini membunuhku, atau juga cintaku bukanlah cinta biasa. Makanya Gino sangat menantikan jawaban Papa Lorenz. Besar sekali harapannya peramal itu berkata,”Sebenarnya dia masih cinta sama kamu,” Tapi apalah daya, keadaan sepertinya belum mengijinkan.
“Halah, ada-ada saja tuh orang Cina. Bikin keributan di depan tempat saya. Cuih, mengganggu saja,” Papa Lorenz kembali ke dalam
“Jadi bagaimana dengan ramalan saya, Papa?” Gino Sanchez masih berharap.
“Oh, iya. Ramalan kamu. Duh, gimana ya saudara Gino,” Papa garuk-garuk kepala.
“Gimana apanya, Papa?”
“Gara-gara keributan tadi wangsit saya jadi hilang,”
“Nggak bisa diulangi lagi, Papa?
“Itulah bedanya diramal sama minum obat. Kalau minum obat bisa tiga kali sehari. Kalau diramal hanya bisa sekali. Sudah ada ketentuannya,”
“Jadi ga bisa lagi? Berarti besok masih bisa kan?” harapan Gino belum luntur.
“Nah, itu dia masalahnya. Besok saya mau naik haji. Ntar malam saya harus siap-siap. Mungkin sebulan lagi saya kembali. Maaf, Gino Sanchez. Kali ini saya tidak bisa membantu,”
Hati Gino Sanchez semakin remuk. Niat hati ingin berjatuh cinta, justru ia jatuh karena cinta. Oh, begitu pahitkah rasanya bila hati dipatahkan. Tidur tak nyenyak, makan tak kenyang. Bertanya ia pada langit, namun langit tak mendengar. Bertanya ia pada rumput yang bergoyang, Ebiet G. Ade malah berang. Bertanya ia pada Buk Susi, “Nanti sajalah. Saya sedang sibuk,” begitu jawabannya.
Rasa putus asa mulai menghampiri Gino. Ia berlutut. Pandangannya jatuh ke bawah. Perlahan-lahan air muncul dari matanya mengaliri pipi. Sesaat ia sempatkan membuka dompetnya tuk menatap kembali foto perempuan yang pernah singgah di hatinya itu,
“Haruskah ku mati karenamu? Terkubur dalam kesedihan sepanjang waktu? Haruskah kurelakan hidupku hanya demi cinta yang mungkin bisa membunuhku?” begitu ucapnya pada foto itu sambil terisak-isak.
Lalu seakan foto itu tak tinggal diam. Ia menjawab tanya Gino Sanchez,
“Kenanglah diriku yang juga mencintaimu. Kenanglah cinta kita yang tak mungkin bersama, slamanya,” foto itu pun mengeluarkan air mata.
“Haauuuuu….”
Papa Lorenz yang sudah ahli soal ilmu cinta mencintai ini mengerti akan apa yang tengah dirasakan Gino Sanchez. Ia tak perlu berpikir panjang untuk mendatangi Gino segera.
“Sudahlah, Anak muda. Kita memang harus menerima kenyataan sekalipun pahit terasa. Hanya itu satu-satunya pilihan. Jatuh cinta itu tidak salah. Namun hasrat ingin selalu memiliki itu terkadang yang jadi masalah,”
“Lalu saya harus bagaimana, Papa? Melupakannya?”
“Saya tidak memintamu untuk melupakannya. Biarlah waktu yang bekerja dalam hal ini. Akan lebih baik bila saat ini kamu belajar tuk mencintai dirimu sendiri. Orang lain boleh berkata cinta padamu. Tapi ketika ia pergi apa yang tersisa? Hanya pilu,”
“Pilu itu sejenis penyakit ya, Papa?”
“Itu flu, Iblis!” Papa Lorenz menahan emosi. “Hanya itu pesan saya. Cintailah dirimu sendiri, maka pada saat itu kau akan benar-benar mengerti bagaimana cinta itu sebenarnya,”
“Tapi, Papa. Itu terlalu sulit,”
“Sulit mana sama soal CPNS?”
“Wah, kayanya lebih sulit tes CPNS, Papa. Ngomong-ngomong Papa ikut tes CPNS daerah mana?”
“Kalau saya milih Pariaman, Gin. Kabarnya sih peluang di sana lebih besar dan lebih bersih,”
“Bersih mana sama Padang?”
“Kalau dibandingkan dengan Pariaman, Padang mah lewat,”
“Lewat mana?”
“Lubuk Buaya,”
“Wah, jauh ya,”
“Masih jauh Pengambiran,.”
“Mang dari Air Tawar ke Pengambiran berapa lama?”
“Gak selama dari Batusangkar ke warnet Azzam,”
“Kalau begitu masih mendingan Aur Duri ke Andalas ya?”
“Beda tipislah dari Solok ke Belimbing,”
“Kalau Solok ke Palembang jauh nggak?”
“Wah kalau itu jalannya berliku-liku. Rumit sekali, Gin. Bisa dekat, bisa jauh,”
“Hm, masih lebih baik Payakumbuh ke Siteba kayanya.”
“Ga juga. Soalnya Payukumbuh ga mau ke Siteba. Justru Siteba yang sangat berharap Payakumbuh mau datang,”
“Mang Siteba pernah kirim sms ke Payakumbuh?”
“Pernah lah. Tujuh sms malah. Tapi anehnya Siteba bilang salah kirim,”
“Reaksinya Payakumbuh?”
“Dia Cuma tersenyum saja.Bangga hatinya selagi masih ada yang menyukainya,”
“Ckckck, padahal Payakumbuh dan Siteba serasi sekali ya. Semua pihak mendukung loh. Semoga saja cinta mereka bisa bertemu,” <<
-0-
Olan memutuskan untuk tidak meneruskan membaca dongeng itu. Ia sangat bingung lalu bergumam,”Dongeng apa ini?”. Wajar bila ia berkata demikian. Lihatlah jalan cerita dongeng itu yang entah kemana. Sudahlah tidak mendidik, inti ceritanya tak pula masuk di akal. Kalau dilanjutkan bisa berdampak buruk bagi perkembangan jiwa para generasi muda Republik Indonesia merdeka yang kucinta, kujaga,dan kubelai mesra.
Keputusan Olan seakan diamini oleh keadaan. Dia memang tidak perlu lagi membaca dongeng itu karena para murid beserta Pak Ikrar sudah tidur dari tadi. Olan menutup buku dongeng tersebut. Ia berdiri untuk sejenak meregangkan otot kakinya. Saat itu ia menyaksikan wajah-wajah imut, lugu, dan tak berdosa yang sedang mendatangi mimpi mereka masing-masing. Terbayang-bayang olehnya kemajuan Indonesia bila suau hari nanti ditangani oleh anak-anak seperti itu. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah Pak Ikrar. Cukup lama ia menatap wajah pria tampan itu hingga akhirnya berujar,
“It’s complicated,”
Cerita Kita: Jembatan Siti Nur Hailol
Belakangan ini Yauma kehilangan semangat belajarnya. Ia semakin tidak antusias mengerjakan PR yang diberikan guru di sekolah. Lima kali diadakan ulangan harian, hanya enam yang diikutinya. Ketika ujian akhir ia tetap datang walau terlambat. Dan jawaban yang ditulisnya pun asal-asalan sadja. Alhasil ketika pembagian rapor, nilai Yauma menurun drastis. Ia yang biasanya mendapat angka sepuluh di setiap mata pelajaran, sekarang jatuh terhempas bebas ke angka yang sebenarnya sangat tidak pantas untuk disebutkan. Sembilan koma delapan, itu angkanya. Sungguh menyedihkan.
Ada yang merokok, ada asap. Sekiranya begitulah perumpamaan orang jaman dahulu untuk menggambarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti ada sebabnya. Itulah yang terjadi pada Yauma. Semenjak wisuda, Buk Retha, guru idola Yauma, tak pernah lagi menginjakkan kaki di SLB. Ia memutuskan untuk merubah nasib ke arah yang lebih baik walau keputusan itu akhirnya menikam semangat dan harapan Yauma yang senantiasa menantikan kedatangannya. Dulu, saking bersemangatnya, di saat siswa-siswa yang lain tiba di sekolah jam setengah delapan, Yauma justru sudah tiba jam setengah lima. Ia tiba di mesjid untuk melaksanakan shalat subuh berjemaah. (Trus, apa hubungannya?)
Kini Yauma hanya bisa mengenang kembali masa-masa indah saat belajar bersama Buk Retha. Di atas bangku taman yang tak jauh dari sekolah, Yauma menyaksikan kemunculan pelangi beberapa saat setelah huja reda. Seakan ada kekuatan aneh yang menggerakkannya, Yauma kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah pulpen beserta secarik kertas. Kertas itu tak dibiarkannya berlama-lama kosong. Beberapa baris kalimat ia tuliskan setelah sebelumnya menatap pelangi itu untuk kesekian kali:
PLEASE, STAY WHERE YOU STAND
GIVE ME A CHANCE
I’LL SEE YOU THEN..
***
“Sore yang indah. Tak tahu kenapa, Abang selalu menyukai suasana setelah hujan. Sama seperti saat ini,” Tiba-tiba Bang Ben mendatangi Yauma. “Coba kamu lihat. Pelangi, langit jingga, serta sekumpulan burung merpati yang terbang melintasi mega. Ah, bukankah itu semua begitu indah?”
Yauma belum berkomentar. Ia hanya menganggukkan kepala.
“Hanya saja keindahan itu terasa kurang lengkap tanpa kehadiran…” Bang Ben tak melanjutkan ucapannya.
“Kehadiran?” Yauma mulai bersuara.
“Sudahlah. Kamu masih kecil. Belum waktunya mengerti tentang hal ini. Huff..” Bang Ben menarik napas dalam. Sangat dalam. Seakan mengisyaratkan betapa jiwanya ingin sekali melepaskan sekat yang selama ini menyesakkan jiwanya.
Lalu siapakah Bang Ben ini? Kalian ingin tahu? Mau saya kasih tahu? Tahu sumedang atau tahu brontak? Kalau tahu sumedang satunya seribu rupiah. Kalau tahu brontak lima ratus rupiah. Apapun tahunya, minumnya tetap teh botol Sosro. Nah, sekarang kalian mau yang mana?
Bang Ben adalah seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai sopir angkot. Ia anak kedua dari dua bersaudara. Ibu dan ayahnya lumayan terkenal di sekitar kawasan SLB ini karena mereka satu2nya penjual nasi goreng yang bersedia memberikan harga paling murah. Mereka dikenal dengan nama Buk Sasa dan Pak Kesno.
Bang Ben sering mampir ke SLB hanya untuk memberikan para siswa makanan ringan, seperti permen, kacang Borobudur, orong-orong, coklat, dan eskrim. Dari sekian jenis makanan itu, eskrimlah yang sering ia bawa. Mulai dari rasa coklat, vanilla, strawberry, hingga blackberry. Itulah yang menyebabkan para siswa SLB sangat dekat dengannya. Di samping itu Bang Ben juga menyukai anak-anak.
“Sedang mikirin apa, Bang?” Yauma menegur Bang Ben yang tengah hanyut dalam lamunan.
Bang Ben tersadar. “Ah, nggak ada apa-apa kok. Cuma melihat jembatan itu sadja,” Bang Ben berkilah dengan mengarahkan telunjuknya ke sebuah jembatan yang berjarak kurang lebih lima belas langkah dari tempatnya berada.
Jembatan itu diberi nama Siti Nur Hailol. Bentuknya seperti jembatan kebanyakan. Tidak ada yang special. Yang membuatnya berbeda hanya pada nama. Konon nama jembatan itu berasal dari sebuah mitos yang dipercaya masyarakat dari generasi ke generasi.
Mitos itu bermula pada suatu sore dahulu kala di penghujung tahun ketika seorang anak gadis bernama Siti Nur Hailol melarikan diri dari kejaran Datuk Haibebs. Nur Hailol adalah putri seorang camat bernama Rafki Emosi yang bergelar Sutan Berapi-api. Ia dipaksa menikah dengan Datuk Haibebs untuk melunasi hutang ayahnya. Tentu saja ia menolak. “Enakmu, deritaku.” Ucap Nur Hailol. Oleh karena itu ia memutuskan melarikan diri sejauh-jauhnya. Satu-satunya jalan ialah dengan melintasi sebuah jembatan.
Ketika sampai di tengah jembatan, dari arah belakang terdengar teriakan Datuk Haibebs.
“Hailol!” suara Datuk Haibebs terdengar keras.
“Haibebs!” Nur Hailol membalas.
“Jangan coba-coba lari dariku karena kau akan menyesalinya. Aku akan membunuh ayahmuu!” Datuk Haibebs mengancam.
“Terserah. Aku tidak peduli. Benar ku mencintai ayahku, tapi tak begini. Ia hianati hati ini. Ia curangi aku.” Ucap Nur Hailol.
“Dasar perempuan manis! Awas kau!” Datuk Haibebs semakin naik darah. Ia mempercepat langkahnya. Keringatnya mulai bercucuran. Namun ketika sampai di pangkal jembatan, mendadak langkahnya terhenti.
“Haibebs! Jangan coba-coba menginjakkan kakimu di jembatan ini!” Seorang pemuda tampan datang menolong Nur Hailol. Perawakannya menarik. Kulitnya putih. Rambutnya seperti vokalis My Chemical Romance album pertama. Wajahnya ganteng. Makanya ia dikenal dengan sebutan Samsul Ganteng yang disukai kebanyakan perempuan dan dicintai seorang pria yang suka bernyanyi.
“Jembatan ini telah meghubungkan hati kami yang dipisahkan waktu. Jangan sekali-kali kau merusaknya. Lebih baik kau pergi atau kau mati!” Samsul Ganteng menghunuskan pedangnya.
Singkat cerita Datuk Haibebs tidak mendengarkan peringatan Samsul Ganteng. Ia akhirnya tewas setelah tertancap pedang emas Samsul Ganteng tanpa sempat setapak pun menginjakkan kakinya di jembatan itu.
Sejak saat itu sampai saat ini masyarakat mempercayai bahwa barang siapa yang melewati Jembatan Siti Nur Hailol menjelang akhir tahun, maka ia akan menemukan pasangan jiwanya. Lalu untuk siapa pun yang selalu sabar menanti, di malam hari ia akan melihat sepasang ikan emas berkilauan yang berenang di sungai tepat di bawah jembatan itu. Ikan itu kemudian akan berenang membentuk sebuah gambar yang konon dipercayai sebagai gambar pasangan jiwa orang yang menanti itu.
***
“Yakult, Yakult. Sudahkah anda minum Yakult hari ini?” Perempuan bersepeda itu memanggil-manggil para pembeli. Ia mengenakan seragam khusus yang diperuntukkan bagi penjual minuman itu. Lama berselang tak satu pun pembeli yang datang. Lalu ia memutuskan untuk beristirahat di tepian Jembatan Siti Nur Hailol.
Di saat yang bersamaan seorang pemuda bertopi Elger dan mengenakan jaket berwarna merah melewati jembatan itu. Ia mendapati perempuan itu tengah berkipas-kipas menghilangkan panas dan lelah.
“Jualan apa, Mbak?” tanya pria itu.
“Eh, Mas. Ini, saya jualan Yakult. Sudahkah Mas minum Yakult hari ini?” ucap perempuan itu.
“Sudah dong. Saya minum dua. He..he..” Kemudian pria itu memberanikan diri untuk berkenalan. Sekitar sepuluh menit berlalu, didapatinya lah nama perempuan itu.
“Jadi nama kamu si Mbak? Nama yang manis. Sama kaya orangnya. He..he..” pria itu menggaruk kepalanya. “Oh ya. Perkenalkan nama saya Ari. Panggil sadja Bang Ari. Saya ketua pemuda di kampung ini.”
“Jadi, Bang Ari mau beli berapa banyak?” si Mbak bertanya. “Kalau Bang Ari beli semuanya, maka Bang Ari dapat potongan harga. Gimana?” lanjut si Mbak.
“Ga usah pakai potongan harga. Saya tetap beli semuanya asalkan saya bisa mendapatkan hati kamu.Deal?”
“Ah, Bang Ari ini bisa sadja. Tanpa membeli pun Bang Ari sudah mendapatkan hati saya. Pandangan pertama menjadi sebabnya,” pipi si Mbak merona.
Selanjutnya mereka berbincang-bincang di atas jembatan itu. Peran sebagai penjual dan pembeli tidak berlaku lagi. Yang ada hanya pertemuan dua hati. Cukup lama mereka berbincang hingga akhirnya mereka saling bergandengan tangan meninggalkan jembatan itu.
Selepas pasangan itu berlalu, datanglah Pak Ikrar yang bersusah payah mendorong vespanya yang mogok. Sesampainya di persimpangan jembatan ia mendatangi Yauma dan Bang Ben yang duduk tak jauh dari jembatan itu.
“Punya obeng nggak? Vespa saya mogok nih,”
Yauma dan Bang Ben serempak menggelengkan kepala. Dan serempak pula jari telunjuk mereka mengarah ke sebuah bengkel di seberang jembatan. Pak Ikrar mengerti. Ia bergegas melintasi Jembatan Siti Nur Hailol untuk segera menuju bengkel. Entah mujur atau malang, Pak Ikrar justru menabrak sebuah gerobak sayur yang juga hendak melintasi jembatan itu.
“Aduh. Maaf. Maafkan saya. Tadi itu tidak sengaja. Saya sedang buru-buru,” ucap Pak Ikrar.
“Tidak perlu minta maaf. Bukan salah anda. Saya nya yang ceroboh,” perempuan itu mencoba mengalah.
Semua tidak selesai sampai di acara saling minta maaf. Pak Ikrar langsung mendekati gerobak itu dan memunguti kembali sayuran yang berserakan. Perempuan itu pun berbuat hal yang sama. Dalam masa itu mereka juga sempat bercakap-cakap. Sama seperti yang dilakukan pasangan tadi.
“Manis-manis kok jualan sayur?” tanya Pak Ikrar.
“Kalau manis itu memang saya. Tapi kalau jualan sayur itu hanya sandiwara.” Perempuan itu mengusap keningnya yang mulai berkeringat. “Saya sedang latihan drama. Saya kebagian peran menjadi tukang sayur. Supaya lebih menghayati peran, maka saya diminta untuk benar-benar jualan sayur. Begitu,”
“Duh. Kok tiba-tiba jantung saya berdebar kencang ya,”
“Kenapa emangnya?”
“Entahlah. Setiap kali bertemu perempuan yang menyukai sastra, jantung saya selalu seperti ini,”
“Saya juga jago bikin puisi loh,” perempuan itu promosi.
“Oh ya?” Pak Ikrar tersepona. “Beruntungnya pria yang bisa mendapatkan hati anda,”
“Ah, jangan begitu. Saya justru merasa pria itu ada di sekitar sini. Tapi persisnya di mana saya tidak tahu,” perempuan itu memandang sekelilingnya.
“Anyway, kalau saya berikan anda satu peran lagi apakah anda bersedia?”
“Peran apa?”
“Menjadi kekasih saya?”
Perempuan itu tak lantas menjawab. Ia menundukkan pandangannya. Dalam keadaan itu tampak pipinya perlahan-lahan memerah. Ada perasaan ganjil yang meliputi batinnya.
“Tapi, bukankah sebuah peran hanya bersifat sementara. Ketika sandiwara berakhir, maka peran itu pun ikut berakhir,”perempuan itu berbicara dalam sikap yang sama.
“Jangan khawatir. Saya tidak memberikan anda sebuah peran dalam panggung sandiwara. Peran anda sekarang ada dalam kehidupan nyata. Berakhir atau tidaknya kembali kepada kita. Saya akan tetap mempertahankan peran anda ini. Anda tahu mengapa? Karena saya akan selalu ada untuk anda” Pak Ikrar menjawab dengan bahasa berbau sastra.
“Jikalau memang begitu, tak ada alasan bagi saya untuk menolak tawaran anda,” kali ini perempuan itu memandang Pak Ikrar lekat.
“Bagimana seharusnya saya memanggil anda?” perempuan itu melanjutkan.
“Terserah. Jika anda memanggil saya Romeo, saya akan memanggil anda Juliet,”
“Jika saya memanggil anda Ariel?”
“Pastinya saya akan memanggil anda Luna Maya,”
“Kalau saya memanggil anda Shahrukh Khan?”
“Sudah barang tentu saya akan memangil anda Amitabacan,”
“Kok Amitabacan?” perempuan itu sedikit protes.
“Karena kalau saya panggil anda Azis Gagap tentunya akan semakin mengerikan,”
“Oke lah kalau begitu. Boleh saya tahu nama anda siapa?”
“Oh, maaf. Nama saya Ikrar. Ikrar Saputra,”
“Nama yang ganteng. Saya suka,”
“Dan nama anda adalah Ami. Bukan begitu?”
“Bagaimana anda bisa tahu? Apakah hati kita telah memberikan isyarat masing-masing? Ataukah di kehidupan yang sebelumnya kita pernah berjumpa? Oh, cinta memang sebuah misteri,” ucap perempuan itu dengan gaya membaca puisi.
“Anda jangan berlebihan kaya gitu ah. Bukannya anda sendiri yang menuliskan nama anda di gerobak itu?”
Setelah puas bercakap-cakap, pasangan itu akhirnya meninggalkan Jembatan Siti Nur Hailol. Mereka pulang bergandengan. Bergandengan gerobak sayur. Sementara vespa yang mogok itu ditinggalkan Pak Ikrar begitu sadja.
***
“Sebentar lagi Magrib. Abang pulang dulu,” Bang Ben beranjak dari tempat duduknya. “Kamu nggak pulang?”
“Saya shalat Magrib dulu. Habis itu baru pulang. Bang Ben duluan sadja,”
Bang Ben kemudian mengayunkan langkahnya satu per satu. Rumahnya memang tidak jauh. Akan lebih dekat lagi bila ia melintasi jembatan Siti Nur Hailol. Di hari-hari biasa ia sering melalui jembatan ini. Namun menjelang akhir tahun seperti saat ini, ia malah memikirkan mitos itu. Seharusnya ia sudah melangkahkan kakinya di jembatan Siti Nur Hailol dari tadi. Tapi tak kunjung ia lakukan. “Hati ku mau. Pikiranku meragu. Aku belum siap. Seandainya ku lewati jembatan ini, apakah aku akan menemukan pasangan jiwaku? Siapa yang bisa memberi kepastian. Bagaimana bila nantinya kenyataan tidak sesuai dengan yang kuharapkan?” Bang Ben bicara sendiri. Lama ia terpaku menatap jembatan itu hingga akhirnya ia memutuskan untuk melewati jalan yang lain.
***
Selesai mengerjakan shalat magrib, Yauma bergegas pulang. Namun ditengah perjalanan ia teringat akan tasnya yang tertinggal di bangku taman tadi. Ia pun akhirnya kembali ke tempat itu.
Setelah mendapatkan tas itu, Yauma kembali melanjutkan perjalanan pulangnya. Baru sadja tiga langkah ia berjalan, mendadak ia berhenti. Dari arah belakang terdengar olehnya bunyi riak air. Suara itu berasal dari sungai di bawah jembatan Siti Nur Hailol. Selain mengeluarkan suara, sungai itu juga memancarkan cahaya. Hal ini lah yang menarik perhatian Yauma hingga memaksanya mendekati sungai itu.
Ada rasa tidak percaya yang menaungi Yauma saat menyaksikan sepasang ikan mas tengah berenang saling berkejaran. Binar cahaya yang berasal dari sirip sepasang ikan itu sungguh mempesona. Berkilau layaknya sebongkah emas murni. Ikan itu kemudian berenang membentuk sebuah alur yang sulit dijelaskan. Tahap demi tahap alur itu berubah menjadi gambar sesosok perempuan. Awalnya samar-samar. Namun setelah itu gambar perempuan itu terlihat begtu jelas. Yauma benar-benar mengenali perempuan yang dimaksudkan sepasang ikan itu. Seorang perempuan yang hingga saat ini masih dinantinya.
Yauma tersenyum penuh arti. Ringan langkahnya menuju rumah. Hujan kemudian perlahan-lahan turun membasahi. Sebentar saja Yauma sudah kuyup. Ia tidak peduli. Ia tetap berjalan santai, sesantai hatinya berujar,
“Semoga bukan sebuah kekeliruan bila aku masih setia mengharapkan pelangi setelah hujan,”
Desember 2009
Ada yang merokok, ada asap. Sekiranya begitulah perumpamaan orang jaman dahulu untuk menggambarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti ada sebabnya. Itulah yang terjadi pada Yauma. Semenjak wisuda, Buk Retha, guru idola Yauma, tak pernah lagi menginjakkan kaki di SLB. Ia memutuskan untuk merubah nasib ke arah yang lebih baik walau keputusan itu akhirnya menikam semangat dan harapan Yauma yang senantiasa menantikan kedatangannya. Dulu, saking bersemangatnya, di saat siswa-siswa yang lain tiba di sekolah jam setengah delapan, Yauma justru sudah tiba jam setengah lima. Ia tiba di mesjid untuk melaksanakan shalat subuh berjemaah. (Trus, apa hubungannya?)
Kini Yauma hanya bisa mengenang kembali masa-masa indah saat belajar bersama Buk Retha. Di atas bangku taman yang tak jauh dari sekolah, Yauma menyaksikan kemunculan pelangi beberapa saat setelah huja reda. Seakan ada kekuatan aneh yang menggerakkannya, Yauma kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah pulpen beserta secarik kertas. Kertas itu tak dibiarkannya berlama-lama kosong. Beberapa baris kalimat ia tuliskan setelah sebelumnya menatap pelangi itu untuk kesekian kali:
PLEASE, STAY WHERE YOU STAND
GIVE ME A CHANCE
I’LL SEE YOU THEN..
***
“Sore yang indah. Tak tahu kenapa, Abang selalu menyukai suasana setelah hujan. Sama seperti saat ini,” Tiba-tiba Bang Ben mendatangi Yauma. “Coba kamu lihat. Pelangi, langit jingga, serta sekumpulan burung merpati yang terbang melintasi mega. Ah, bukankah itu semua begitu indah?”
Yauma belum berkomentar. Ia hanya menganggukkan kepala.
“Hanya saja keindahan itu terasa kurang lengkap tanpa kehadiran…” Bang Ben tak melanjutkan ucapannya.
“Kehadiran?” Yauma mulai bersuara.
“Sudahlah. Kamu masih kecil. Belum waktunya mengerti tentang hal ini. Huff..” Bang Ben menarik napas dalam. Sangat dalam. Seakan mengisyaratkan betapa jiwanya ingin sekali melepaskan sekat yang selama ini menyesakkan jiwanya.
Lalu siapakah Bang Ben ini? Kalian ingin tahu? Mau saya kasih tahu? Tahu sumedang atau tahu brontak? Kalau tahu sumedang satunya seribu rupiah. Kalau tahu brontak lima ratus rupiah. Apapun tahunya, minumnya tetap teh botol Sosro. Nah, sekarang kalian mau yang mana?
Bang Ben adalah seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai sopir angkot. Ia anak kedua dari dua bersaudara. Ibu dan ayahnya lumayan terkenal di sekitar kawasan SLB ini karena mereka satu2nya penjual nasi goreng yang bersedia memberikan harga paling murah. Mereka dikenal dengan nama Buk Sasa dan Pak Kesno.
Bang Ben sering mampir ke SLB hanya untuk memberikan para siswa makanan ringan, seperti permen, kacang Borobudur, orong-orong, coklat, dan eskrim. Dari sekian jenis makanan itu, eskrimlah yang sering ia bawa. Mulai dari rasa coklat, vanilla, strawberry, hingga blackberry. Itulah yang menyebabkan para siswa SLB sangat dekat dengannya. Di samping itu Bang Ben juga menyukai anak-anak.
“Sedang mikirin apa, Bang?” Yauma menegur Bang Ben yang tengah hanyut dalam lamunan.
Bang Ben tersadar. “Ah, nggak ada apa-apa kok. Cuma melihat jembatan itu sadja,” Bang Ben berkilah dengan mengarahkan telunjuknya ke sebuah jembatan yang berjarak kurang lebih lima belas langkah dari tempatnya berada.
Jembatan itu diberi nama Siti Nur Hailol. Bentuknya seperti jembatan kebanyakan. Tidak ada yang special. Yang membuatnya berbeda hanya pada nama. Konon nama jembatan itu berasal dari sebuah mitos yang dipercaya masyarakat dari generasi ke generasi.
Mitos itu bermula pada suatu sore dahulu kala di penghujung tahun ketika seorang anak gadis bernama Siti Nur Hailol melarikan diri dari kejaran Datuk Haibebs. Nur Hailol adalah putri seorang camat bernama Rafki Emosi yang bergelar Sutan Berapi-api. Ia dipaksa menikah dengan Datuk Haibebs untuk melunasi hutang ayahnya. Tentu saja ia menolak. “Enakmu, deritaku.” Ucap Nur Hailol. Oleh karena itu ia memutuskan melarikan diri sejauh-jauhnya. Satu-satunya jalan ialah dengan melintasi sebuah jembatan.
Ketika sampai di tengah jembatan, dari arah belakang terdengar teriakan Datuk Haibebs.
“Hailol!” suara Datuk Haibebs terdengar keras.
“Haibebs!” Nur Hailol membalas.
“Jangan coba-coba lari dariku karena kau akan menyesalinya. Aku akan membunuh ayahmuu!” Datuk Haibebs mengancam.
“Terserah. Aku tidak peduli. Benar ku mencintai ayahku, tapi tak begini. Ia hianati hati ini. Ia curangi aku.” Ucap Nur Hailol.
“Dasar perempuan manis! Awas kau!” Datuk Haibebs semakin naik darah. Ia mempercepat langkahnya. Keringatnya mulai bercucuran. Namun ketika sampai di pangkal jembatan, mendadak langkahnya terhenti.
“Haibebs! Jangan coba-coba menginjakkan kakimu di jembatan ini!” Seorang pemuda tampan datang menolong Nur Hailol. Perawakannya menarik. Kulitnya putih. Rambutnya seperti vokalis My Chemical Romance album pertama. Wajahnya ganteng. Makanya ia dikenal dengan sebutan Samsul Ganteng yang disukai kebanyakan perempuan dan dicintai seorang pria yang suka bernyanyi.
“Jembatan ini telah meghubungkan hati kami yang dipisahkan waktu. Jangan sekali-kali kau merusaknya. Lebih baik kau pergi atau kau mati!” Samsul Ganteng menghunuskan pedangnya.
Singkat cerita Datuk Haibebs tidak mendengarkan peringatan Samsul Ganteng. Ia akhirnya tewas setelah tertancap pedang emas Samsul Ganteng tanpa sempat setapak pun menginjakkan kakinya di jembatan itu.
Sejak saat itu sampai saat ini masyarakat mempercayai bahwa barang siapa yang melewati Jembatan Siti Nur Hailol menjelang akhir tahun, maka ia akan menemukan pasangan jiwanya. Lalu untuk siapa pun yang selalu sabar menanti, di malam hari ia akan melihat sepasang ikan emas berkilauan yang berenang di sungai tepat di bawah jembatan itu. Ikan itu kemudian akan berenang membentuk sebuah gambar yang konon dipercayai sebagai gambar pasangan jiwa orang yang menanti itu.
***
“Yakult, Yakult. Sudahkah anda minum Yakult hari ini?” Perempuan bersepeda itu memanggil-manggil para pembeli. Ia mengenakan seragam khusus yang diperuntukkan bagi penjual minuman itu. Lama berselang tak satu pun pembeli yang datang. Lalu ia memutuskan untuk beristirahat di tepian Jembatan Siti Nur Hailol.
Di saat yang bersamaan seorang pemuda bertopi Elger dan mengenakan jaket berwarna merah melewati jembatan itu. Ia mendapati perempuan itu tengah berkipas-kipas menghilangkan panas dan lelah.
“Jualan apa, Mbak?” tanya pria itu.
“Eh, Mas. Ini, saya jualan Yakult. Sudahkah Mas minum Yakult hari ini?” ucap perempuan itu.
“Sudah dong. Saya minum dua. He..he..” Kemudian pria itu memberanikan diri untuk berkenalan. Sekitar sepuluh menit berlalu, didapatinya lah nama perempuan itu.
“Jadi nama kamu si Mbak? Nama yang manis. Sama kaya orangnya. He..he..” pria itu menggaruk kepalanya. “Oh ya. Perkenalkan nama saya Ari. Panggil sadja Bang Ari. Saya ketua pemuda di kampung ini.”
“Jadi, Bang Ari mau beli berapa banyak?” si Mbak bertanya. “Kalau Bang Ari beli semuanya, maka Bang Ari dapat potongan harga. Gimana?” lanjut si Mbak.
“Ga usah pakai potongan harga. Saya tetap beli semuanya asalkan saya bisa mendapatkan hati kamu.Deal?”
“Ah, Bang Ari ini bisa sadja. Tanpa membeli pun Bang Ari sudah mendapatkan hati saya. Pandangan pertama menjadi sebabnya,” pipi si Mbak merona.
Selanjutnya mereka berbincang-bincang di atas jembatan itu. Peran sebagai penjual dan pembeli tidak berlaku lagi. Yang ada hanya pertemuan dua hati. Cukup lama mereka berbincang hingga akhirnya mereka saling bergandengan tangan meninggalkan jembatan itu.
Selepas pasangan itu berlalu, datanglah Pak Ikrar yang bersusah payah mendorong vespanya yang mogok. Sesampainya di persimpangan jembatan ia mendatangi Yauma dan Bang Ben yang duduk tak jauh dari jembatan itu.
“Punya obeng nggak? Vespa saya mogok nih,”
Yauma dan Bang Ben serempak menggelengkan kepala. Dan serempak pula jari telunjuk mereka mengarah ke sebuah bengkel di seberang jembatan. Pak Ikrar mengerti. Ia bergegas melintasi Jembatan Siti Nur Hailol untuk segera menuju bengkel. Entah mujur atau malang, Pak Ikrar justru menabrak sebuah gerobak sayur yang juga hendak melintasi jembatan itu.
“Aduh. Maaf. Maafkan saya. Tadi itu tidak sengaja. Saya sedang buru-buru,” ucap Pak Ikrar.
“Tidak perlu minta maaf. Bukan salah anda. Saya nya yang ceroboh,” perempuan itu mencoba mengalah.
Semua tidak selesai sampai di acara saling minta maaf. Pak Ikrar langsung mendekati gerobak itu dan memunguti kembali sayuran yang berserakan. Perempuan itu pun berbuat hal yang sama. Dalam masa itu mereka juga sempat bercakap-cakap. Sama seperti yang dilakukan pasangan tadi.
“Manis-manis kok jualan sayur?” tanya Pak Ikrar.
“Kalau manis itu memang saya. Tapi kalau jualan sayur itu hanya sandiwara.” Perempuan itu mengusap keningnya yang mulai berkeringat. “Saya sedang latihan drama. Saya kebagian peran menjadi tukang sayur. Supaya lebih menghayati peran, maka saya diminta untuk benar-benar jualan sayur. Begitu,”
“Duh. Kok tiba-tiba jantung saya berdebar kencang ya,”
“Kenapa emangnya?”
“Entahlah. Setiap kali bertemu perempuan yang menyukai sastra, jantung saya selalu seperti ini,”
“Saya juga jago bikin puisi loh,” perempuan itu promosi.
“Oh ya?” Pak Ikrar tersepona. “Beruntungnya pria yang bisa mendapatkan hati anda,”
“Ah, jangan begitu. Saya justru merasa pria itu ada di sekitar sini. Tapi persisnya di mana saya tidak tahu,” perempuan itu memandang sekelilingnya.
“Anyway, kalau saya berikan anda satu peran lagi apakah anda bersedia?”
“Peran apa?”
“Menjadi kekasih saya?”
Perempuan itu tak lantas menjawab. Ia menundukkan pandangannya. Dalam keadaan itu tampak pipinya perlahan-lahan memerah. Ada perasaan ganjil yang meliputi batinnya.
“Tapi, bukankah sebuah peran hanya bersifat sementara. Ketika sandiwara berakhir, maka peran itu pun ikut berakhir,”perempuan itu berbicara dalam sikap yang sama.
“Jangan khawatir. Saya tidak memberikan anda sebuah peran dalam panggung sandiwara. Peran anda sekarang ada dalam kehidupan nyata. Berakhir atau tidaknya kembali kepada kita. Saya akan tetap mempertahankan peran anda ini. Anda tahu mengapa? Karena saya akan selalu ada untuk anda” Pak Ikrar menjawab dengan bahasa berbau sastra.
“Jikalau memang begitu, tak ada alasan bagi saya untuk menolak tawaran anda,” kali ini perempuan itu memandang Pak Ikrar lekat.
“Bagimana seharusnya saya memanggil anda?” perempuan itu melanjutkan.
“Terserah. Jika anda memanggil saya Romeo, saya akan memanggil anda Juliet,”
“Jika saya memanggil anda Ariel?”
“Pastinya saya akan memanggil anda Luna Maya,”
“Kalau saya memanggil anda Shahrukh Khan?”
“Sudah barang tentu saya akan memangil anda Amitabacan,”
“Kok Amitabacan?” perempuan itu sedikit protes.
“Karena kalau saya panggil anda Azis Gagap tentunya akan semakin mengerikan,”
“Oke lah kalau begitu. Boleh saya tahu nama anda siapa?”
“Oh, maaf. Nama saya Ikrar. Ikrar Saputra,”
“Nama yang ganteng. Saya suka,”
“Dan nama anda adalah Ami. Bukan begitu?”
“Bagaimana anda bisa tahu? Apakah hati kita telah memberikan isyarat masing-masing? Ataukah di kehidupan yang sebelumnya kita pernah berjumpa? Oh, cinta memang sebuah misteri,” ucap perempuan itu dengan gaya membaca puisi.
“Anda jangan berlebihan kaya gitu ah. Bukannya anda sendiri yang menuliskan nama anda di gerobak itu?”
Setelah puas bercakap-cakap, pasangan itu akhirnya meninggalkan Jembatan Siti Nur Hailol. Mereka pulang bergandengan. Bergandengan gerobak sayur. Sementara vespa yang mogok itu ditinggalkan Pak Ikrar begitu sadja.
***
“Sebentar lagi Magrib. Abang pulang dulu,” Bang Ben beranjak dari tempat duduknya. “Kamu nggak pulang?”
“Saya shalat Magrib dulu. Habis itu baru pulang. Bang Ben duluan sadja,”
Bang Ben kemudian mengayunkan langkahnya satu per satu. Rumahnya memang tidak jauh. Akan lebih dekat lagi bila ia melintasi jembatan Siti Nur Hailol. Di hari-hari biasa ia sering melalui jembatan ini. Namun menjelang akhir tahun seperti saat ini, ia malah memikirkan mitos itu. Seharusnya ia sudah melangkahkan kakinya di jembatan Siti Nur Hailol dari tadi. Tapi tak kunjung ia lakukan. “Hati ku mau. Pikiranku meragu. Aku belum siap. Seandainya ku lewati jembatan ini, apakah aku akan menemukan pasangan jiwaku? Siapa yang bisa memberi kepastian. Bagaimana bila nantinya kenyataan tidak sesuai dengan yang kuharapkan?” Bang Ben bicara sendiri. Lama ia terpaku menatap jembatan itu hingga akhirnya ia memutuskan untuk melewati jalan yang lain.
***
Selesai mengerjakan shalat magrib, Yauma bergegas pulang. Namun ditengah perjalanan ia teringat akan tasnya yang tertinggal di bangku taman tadi. Ia pun akhirnya kembali ke tempat itu.
Setelah mendapatkan tas itu, Yauma kembali melanjutkan perjalanan pulangnya. Baru sadja tiga langkah ia berjalan, mendadak ia berhenti. Dari arah belakang terdengar olehnya bunyi riak air. Suara itu berasal dari sungai di bawah jembatan Siti Nur Hailol. Selain mengeluarkan suara, sungai itu juga memancarkan cahaya. Hal ini lah yang menarik perhatian Yauma hingga memaksanya mendekati sungai itu.
Ada rasa tidak percaya yang menaungi Yauma saat menyaksikan sepasang ikan mas tengah berenang saling berkejaran. Binar cahaya yang berasal dari sirip sepasang ikan itu sungguh mempesona. Berkilau layaknya sebongkah emas murni. Ikan itu kemudian berenang membentuk sebuah alur yang sulit dijelaskan. Tahap demi tahap alur itu berubah menjadi gambar sesosok perempuan. Awalnya samar-samar. Namun setelah itu gambar perempuan itu terlihat begtu jelas. Yauma benar-benar mengenali perempuan yang dimaksudkan sepasang ikan itu. Seorang perempuan yang hingga saat ini masih dinantinya.
Yauma tersenyum penuh arti. Ringan langkahnya menuju rumah. Hujan kemudian perlahan-lahan turun membasahi. Sebentar saja Yauma sudah kuyup. Ia tidak peduli. Ia tetap berjalan santai, sesantai hatinya berujar,
“Semoga bukan sebuah kekeliruan bila aku masih setia mengharapkan pelangi setelah hujan,”
Desember 2009
Ada-ada sadja..
Sekarang baru ku sadar mengapa kebanyakan orang mengatakan cari uang itu susah. Tenaga dan pikiran memang terkuras. Namun lebih dari itu, keterlibatan perasaan menjadi poin terpenting menurutku. Jikalah hanya tenaga dan pikiran yang habis, itu soal biasa karena memang begitulah seharusnya. Lalu ketika tekanan dari luar dan dalam menghampiri, perasaan seakan diserang habis-habisan. Benar-benar harus memiliki mental yang kuat dalam hal ini. Jika tidak, menyerah menjadi satu-satunya pilihan.
Inilah yang sedang kuhadapi dan harus kuselesaikan. Pernah terpikir untuk menyerah, tapi setelah direnungkan kembali hal itu bukanlah pilihan yang bijak. Kupikir, semakin deras tekanan yang datang,maka semakin kuatlah mental ini.
Walaupun akumasih ragu dengan hal itu, setidaknya perlahan-lahan aku sudah mulai mencoba.
Ah, semoga sadja usahaku ini membuahkan hasil yang menggembirakan. Dan di awal bulan nanti, aku berharap dapat merasakan kenikmatan dari apa yang namanya 'gaji'.
Huff, ada-ada sadja..
Inilah yang sedang kuhadapi dan harus kuselesaikan. Pernah terpikir untuk menyerah, tapi setelah direnungkan kembali hal itu bukanlah pilihan yang bijak. Kupikir, semakin deras tekanan yang datang,maka semakin kuatlah mental ini.
Walaupun akumasih ragu dengan hal itu, setidaknya perlahan-lahan aku sudah mulai mencoba.
Ah, semoga sadja usahaku ini membuahkan hasil yang menggembirakan. Dan di awal bulan nanti, aku berharap dapat merasakan kenikmatan dari apa yang namanya 'gaji'.
Huff, ada-ada sadja..
Doa Malam Minggu
Tuhan lelaki yang tengah bercerita dengan ku ini
mungkin belum punya mobil Estrada atau apartemen mewah di Melbourne
tapi aku yakin ia punya tekad kuat untuk mewujudkan itu,
ia juga tengah mengharapkan seorang wanita yang baik namun belum memilikinya
tapi ia berusaha untuk itu Tuhan...
kini yang aku tau ia memiliki niat tulus untuk melepaskan dahagaku
akan deretan2 huruf yang tersusun rapi
dari buah tangan Dewi Lestari an Linda..
ia ingin aku memiliknya.. bantu ia Tuhan.. mudahkanlah rejekinya lancarkan jalannya tabahkan pikiranya...
Trimaksih Tuhan...
Della Syahni
(Kemudian pria itu pun hanya tersenyum lantaran ada sesuatu yang sedang bermain di dalam pikirannya)
mungkin belum punya mobil Estrada atau apartemen mewah di Melbourne
tapi aku yakin ia punya tekad kuat untuk mewujudkan itu,
ia juga tengah mengharapkan seorang wanita yang baik namun belum memilikinya
tapi ia berusaha untuk itu Tuhan...
kini yang aku tau ia memiliki niat tulus untuk melepaskan dahagaku
akan deretan2 huruf yang tersusun rapi
dari buah tangan Dewi Lestari an Linda..
ia ingin aku memiliknya.. bantu ia Tuhan.. mudahkanlah rejekinya lancarkan jalannya tabahkan pikiranya...
Trimaksih Tuhan...
Della Syahni
(Kemudian pria itu pun hanya tersenyum lantaran ada sesuatu yang sedang bermain di dalam pikirannya)
coretan kecil untukmu
Roh dan ragaku menyatu di tengah alunan lembut milik raja dari segala raja. Masih sangat mengantuk, kupaksa mataku melirik telepon genggam yang sudah tergeletak di bawah tempat tidur. Pantas saja senandung itu melantun sendu, ternyata pukul 05.15 WIB. terlalu indah di dengar hingga membuatku melamun menikmatinya. Baru saja lamunanku akan di mulai, sekejap petuah mendoktrin otakku dan menyadarkan dari lamunan.
"sholat jika kau masih sayang dan ingat padaku, buatlah aku bangga sebagai ibumu. Walau aku tak lagi bisa untuk kau sentuh. Tapi sepenuhnya aku melihat dan mejagamu disisi berbeda."
Setidaknya itulah inti dari kalimat terakhir beliau ketika aku tak mampu lagi mengontrol diriku untuk tidak menangis sambil membisikkan sajak indah rajutan sang raja di telinga beliau sebelum dia sepenuhnya meninggalkanku menuju kehidupan yang sebenarnya.
Di satu sisi, saat aku masih berbaring, setan dan malaikat bertanding sangat sengit di mata dan kaki. Si setan terus memperjuangkan kewajiban mnereka menghalangiku melaksanakan petuah ibuku. Karena memang itulah pekerjaan mereka. Ternyata pagi ini lain cerita, malaikat memenagi pertandingan. Entah berapa skor dari pertandingan ini, tapi sudah jelas setan masih unggul.
Imbas dari pertandingan ini membuat mataku terbelalak seperti ketika aku melihat gadis cantik yang berjalan gontai melewati gesung lantai lima di kampusku yang sampai sekarang masih bobrok. Dan meringankan langkah kaki, sama persis saat aku bersemangat berlari mengejar seorang gadis untuk menanyai namanya juga nomor telponnya di masa lampau. Aku melangkah ke kamar kecil melakukan melakukan yang seharusnya sebelum menghadap sang raja. selesai dengan semuanya, aku bergerak menyusul lantunan lembut itu. Dalam perjalanan singkat tersebut, setan kembali mencoba menggoyah niatku.
"Untuk apa kau melakukan ini, toh besok kau akan meninggalkannya lagi." Setan menggoda.
"Setidaknya kau mencoba, walau besok mungkin kau lupa, namun kau harus berusaha." Malaikat sekan bicara padaku.
"tak ada kata terlambat." hatiku meneguhkan niatku.
Setan lagi-lagi kalah.
Seusai menghadap sang raja, aku menengadahkan tanganku dan menundukkan kepala. Bukannya untuk meminta sedekah, tentu saja untuk berdo'a. Di selang aku berdo'a, ibuku menyita seluruh isi kepalaku, hingga tanpa sadar air mata tak lagi terkontrol untuk berontak keluar dari mata. Mungkin ini air mata kedua setelah kejadian cukup pahit yang kualami d bulan-bulan awal aku menjadi mahasiswa, setelah ibuku tiada. Ketika itu kepalaku masih pelontos.
"Ah, masa lalu memang pahit."
Do'aku pun selesai. Keluar dari rumah sang raja matahari sudah mulai ingin unjuk gigi dengan dengan kemegahannya. Sungguh indah langit pagi itu berkolaborasi dengan kilau matahari.Aku pulang ke istanaku yang biasa di sebut "alam relaksasi" oleh salah seorang temanku yang berpostur lumayan proporsional, namun sayang dia terlalu sering bergelut dengan matahari hingga dia terlihat sedikit gelap. Dia menyebut seperti itu karena memang disinilah kami sejenak melepas kejenuhan dengan perkuliahan. Mendarat di tempat tidurku, berniat membaca untuk kesekian kalinya novel "Honeymoon With My Brother" yang kupinjam dari seorang senior yang entah sudah berapa bulan yang lalu aku pinjam, namun belum juga aku kembalikan. Baru beberapa paragraf terlewati, aku tertidur lagi.
Aku tersentak bebrapa jam kemudian, berkata dalam hati. "Detik ini akfitas rutin yang membosankan akan kumulai lagi, kuliah." Aku pun membersihkan badan alias mandi dan bersiap berangkat ke kampus.
Setelah selesai dengan satu mata kuliah, aku menanyakan bebrapa pertanyaan kepada seorang senior yang sudah pantas di panggil "om" bagiku. Dengan topik utama yang pertanyaanku adalah bosan. Aku mencatatkan bebrapa pertanyaan pada sebuah buku yang sudah aku kundang sejak semester dua, dan sekarang aku sudah semester empat, namun buku itu belum juga terisi penuh. Sekembalinya buku itu dari senior tersebut yang sudah berisi coretan tangan pujangga yang kelihatan sedang bahagia karena suatu hal yang menurutnya tidak aku ketahui. Jelas masih ada hubungannya dengan percintaan.
"Huh, mereka kira aku tidak bisa membaca situasi apa ?"
Hari ini tidak ada yang spesial kecuali aku yang menjadi lebih tenang. Dan di saat-saat tertentu aku mencuri waktu dari keramaian teman-teman dan senior unutk melakukan petuah ibuku. Kurasa kejenuhanku sudah mampu dikalahkan oleh gelak tawa yang hadir dikampus. Aku beranjak kembali menuju istanaku yang sangat megah, menurutku. Matahari pun sudah lelah dengan unjuk giginya. Sesampainya di rumah, giliran perutku yang berontak meminta haknya. Dan aku tersadar hari ini aku memberi hak perutku baru satu kali. Pantaas saja mereka berontak. Hak perutku pun terpenuhi. Dengan makan pernutup, ditemani sebatang rokok putih dan segelas teh hangat. Aku merasa harus terburu-buru membabat habis dua hal yang kuanggap makan penutup ini, karena mataku terasa sudah mulai berat.
Setelah perutku terasa sudah mulai stabil, aku melangkah ke kamar dan berbaring. Sembari menyetel alarm agar aku tak terlambat esok. Sebelum lepas landas aku sempat berfikir dan bertanya.
"Ada apa dengan hari ini ?"
"Hari ini terasa aneh namun sangata membuatku nyaman."
"apakah petuah ibuku ?"
"apa karena aku sudah kepala dua ? dan sudah waktunya berfikir sedikit lebih serius ?
"Ah, sudahlah, aku sudah cukup letih hari ini." Jawaban singkat keluar dari mulutku.
Akhirnya aku menutup langkah di hari yang panjang ini dan kembali melepas rohku untuk sejenak.
"sholat jika kau masih sayang dan ingat padaku, buatlah aku bangga sebagai ibumu. Walau aku tak lagi bisa untuk kau sentuh. Tapi sepenuhnya aku melihat dan mejagamu disisi berbeda."
Setidaknya itulah inti dari kalimat terakhir beliau ketika aku tak mampu lagi mengontrol diriku untuk tidak menangis sambil membisikkan sajak indah rajutan sang raja di telinga beliau sebelum dia sepenuhnya meninggalkanku menuju kehidupan yang sebenarnya.
Di satu sisi, saat aku masih berbaring, setan dan malaikat bertanding sangat sengit di mata dan kaki. Si setan terus memperjuangkan kewajiban mnereka menghalangiku melaksanakan petuah ibuku. Karena memang itulah pekerjaan mereka. Ternyata pagi ini lain cerita, malaikat memenagi pertandingan. Entah berapa skor dari pertandingan ini, tapi sudah jelas setan masih unggul.
Imbas dari pertandingan ini membuat mataku terbelalak seperti ketika aku melihat gadis cantik yang berjalan gontai melewati gesung lantai lima di kampusku yang sampai sekarang masih bobrok. Dan meringankan langkah kaki, sama persis saat aku bersemangat berlari mengejar seorang gadis untuk menanyai namanya juga nomor telponnya di masa lampau. Aku melangkah ke kamar kecil melakukan melakukan yang seharusnya sebelum menghadap sang raja. selesai dengan semuanya, aku bergerak menyusul lantunan lembut itu. Dalam perjalanan singkat tersebut, setan kembali mencoba menggoyah niatku.
"Untuk apa kau melakukan ini, toh besok kau akan meninggalkannya lagi." Setan menggoda.
"Setidaknya kau mencoba, walau besok mungkin kau lupa, namun kau harus berusaha." Malaikat sekan bicara padaku.
"tak ada kata terlambat." hatiku meneguhkan niatku.
Setan lagi-lagi kalah.
Seusai menghadap sang raja, aku menengadahkan tanganku dan menundukkan kepala. Bukannya untuk meminta sedekah, tentu saja untuk berdo'a. Di selang aku berdo'a, ibuku menyita seluruh isi kepalaku, hingga tanpa sadar air mata tak lagi terkontrol untuk berontak keluar dari mata. Mungkin ini air mata kedua setelah kejadian cukup pahit yang kualami d bulan-bulan awal aku menjadi mahasiswa, setelah ibuku tiada. Ketika itu kepalaku masih pelontos.
"Ah, masa lalu memang pahit."
Do'aku pun selesai. Keluar dari rumah sang raja matahari sudah mulai ingin unjuk gigi dengan dengan kemegahannya. Sungguh indah langit pagi itu berkolaborasi dengan kilau matahari.Aku pulang ke istanaku yang biasa di sebut "alam relaksasi" oleh salah seorang temanku yang berpostur lumayan proporsional, namun sayang dia terlalu sering bergelut dengan matahari hingga dia terlihat sedikit gelap. Dia menyebut seperti itu karena memang disinilah kami sejenak melepas kejenuhan dengan perkuliahan. Mendarat di tempat tidurku, berniat membaca untuk kesekian kalinya novel "Honeymoon With My Brother" yang kupinjam dari seorang senior yang entah sudah berapa bulan yang lalu aku pinjam, namun belum juga aku kembalikan. Baru beberapa paragraf terlewati, aku tertidur lagi.
Aku tersentak bebrapa jam kemudian, berkata dalam hati. "Detik ini akfitas rutin yang membosankan akan kumulai lagi, kuliah." Aku pun membersihkan badan alias mandi dan bersiap berangkat ke kampus.
Setelah selesai dengan satu mata kuliah, aku menanyakan bebrapa pertanyaan kepada seorang senior yang sudah pantas di panggil "om" bagiku. Dengan topik utama yang pertanyaanku adalah bosan. Aku mencatatkan bebrapa pertanyaan pada sebuah buku yang sudah aku kundang sejak semester dua, dan sekarang aku sudah semester empat, namun buku itu belum juga terisi penuh. Sekembalinya buku itu dari senior tersebut yang sudah berisi coretan tangan pujangga yang kelihatan sedang bahagia karena suatu hal yang menurutnya tidak aku ketahui. Jelas masih ada hubungannya dengan percintaan.
"Huh, mereka kira aku tidak bisa membaca situasi apa ?"
Hari ini tidak ada yang spesial kecuali aku yang menjadi lebih tenang. Dan di saat-saat tertentu aku mencuri waktu dari keramaian teman-teman dan senior unutk melakukan petuah ibuku. Kurasa kejenuhanku sudah mampu dikalahkan oleh gelak tawa yang hadir dikampus. Aku beranjak kembali menuju istanaku yang sangat megah, menurutku. Matahari pun sudah lelah dengan unjuk giginya. Sesampainya di rumah, giliran perutku yang berontak meminta haknya. Dan aku tersadar hari ini aku memberi hak perutku baru satu kali. Pantaas saja mereka berontak. Hak perutku pun terpenuhi. Dengan makan pernutup, ditemani sebatang rokok putih dan segelas teh hangat. Aku merasa harus terburu-buru membabat habis dua hal yang kuanggap makan penutup ini, karena mataku terasa sudah mulai berat.
Setelah perutku terasa sudah mulai stabil, aku melangkah ke kamar dan berbaring. Sembari menyetel alarm agar aku tak terlambat esok. Sebelum lepas landas aku sempat berfikir dan bertanya.
"Ada apa dengan hari ini ?"
"Hari ini terasa aneh namun sangata membuatku nyaman."
"apakah petuah ibuku ?"
"apa karena aku sudah kepala dua ? dan sudah waktunya berfikir sedikit lebih serius ?
"Ah, sudahlah, aku sudah cukup letih hari ini." Jawaban singkat keluar dari mulutku.
Akhirnya aku menutup langkah di hari yang panjang ini dan kembali melepas rohku untuk sejenak.
9
ni adalah tulisan sederhana,maaf jika terkesan euforia.terimakasih untuk semua.
akhirnya aku sampai juga
ditempat dimana orang sekiranya meminta izin kepadaku sekedar tertawa atasamu
ah...takterasa lima putaran bumi telah kulahap tanpa melewatkan satu potonganpun
dan kini kaupun tengah berada disampingku seraya membiarkan tanganmu menyapa lembut ujung rambutku
sembari sesekali menemaniku menghitung garis putus-putus dari mobil sewaan dua patimura sampai tujuan
ah.....akhirnya ada angka baru di jam tanganku
angka 9
angka yang selama ini taksempat kunikmati karna sekiranya aku tak tahu bahwa angka itu ada
dan entah dari mana mereka berdiri indah disampingku
bagiku kini angka 9 menjadi angka yang sakral atau malah angka yang kubenci dan sekaligus angka yang teramat kugemari
angka 9 membantumu megurai senyum yang membuatku berani meyuruh matahari untuk segera meyapa bumi ini
taklama guratan senyum yang kau titipkan pada kata ditelfon genggam-mu datang meyapaku
takperlu kaulukiskan karna kata-katapun sekiranya telah menunjukkan rupa senyum itu
senyum yang semua orangpun tahu bahwa itu sengaja kaurangkai untukku
akhirnya aku sampai juga
ditempat dimana orang sekiranya meminta izin kepadaku sekedar tertawa atasamu
ah...takterasa lima putaran bumi telah kulahap tanpa melewatkan satu potonganpun
dan kini kaupun tengah berada disampingku seraya membiarkan tanganmu menyapa lembut ujung rambutku
sembari sesekali menemaniku menghitung garis putus-putus dari mobil sewaan dua patimura sampai tujuan
ah.....akhirnya ada angka baru di jam tanganku
angka 9
angka yang selama ini taksempat kunikmati karna sekiranya aku tak tahu bahwa angka itu ada
dan entah dari mana mereka berdiri indah disampingku
bagiku kini angka 9 menjadi angka yang sakral atau malah angka yang kubenci dan sekaligus angka yang teramat kugemari
angka 9 membantumu megurai senyum yang membuatku berani meyuruh matahari untuk segera meyapa bumi ini
taklama guratan senyum yang kau titipkan pada kata ditelfon genggam-mu datang meyapaku
takperlu kaulukiskan karna kata-katapun sekiranya telah menunjukkan rupa senyum itu
senyum yang semua orangpun tahu bahwa itu sengaja kaurangkai untukku
"curhat geCH"
SEperti yg pernah d'bilang Ma dosen gw klo" WISUDA NTU GAK WAJIB" "TETAPI BAYAR SPP NYA YG WAJIB",,,spontan gw langsung berfikir n inget akAn diri gw sendiri yg mempunyai obsesi MAu Gemuk dengan badan atletis layak nya temen gw sang INVISIBLE MAN....TRUZ GW COBA HuBUNGin DENGAN diri GW...."TERNYATA GEMUK NTU G WAJIB" "TETEAPI MAKAN NYA YANG WAJIB"....y itulah hidup gw,,semuanya serba gak nyambung...semua nya penuh tantangan seperti hal nya ketika gw ragu untuk mencoba nulis note ini, d'dorong oleh perasaan cemburu yg sangat norak dengan teman2 gw yg sangat keren sekali dalam menulis,,,sampai pesona nya tersebar ketika selesai menulis dengan coment2 yg numpuk di note laksana jerawat jerawat yg numpuk di muka gw.
Gak banyak yg bisa gw bilang disini,dari semua kejadian penting yg banyak muncul dari hidup gw yg membuat sadar kan suatu kedewasaan dan tanggung jawab dari suatu perselisihan antara gw dengan temen temen gw,,,dan dari banyak kisah dimana banyak cercaan yg dateng k'gw dari seorang pemimpin,,dan sampai ke kisah wajah baru yg bermunculan dengan membawa hati hati yang baru...lalu dengan singkat nya muncul lah sepasang sepasang hati yang baru yg klo gw ibaratkan layak nya" MUHAMAD ROONEY IKBAL YANG SEDANG MELEPASKAN UMPAN SILANG NYA KEPADA NYONYA CHA BERBATOV UNTUK DIMASUKAN KEDALAM GAWANG"...ihi…prikitiW…..b
erbagai cara guna melekatkan hati.....lain na hal dengan junior gw yg pura2 mnta tanda tangan truz MNERUZ sama si invisible man....itulah cinta,,,usaha nya tiada akhir,,,dari usaha yg paling abstrak mpe usaha yg PALING JADUL.."AJARIN MAEN BRIDGE DONG!!!!!"wkwkwkwkwk NGA,,,REP.............tapi smua nay trus lanjut....dengan cinta yg slalu menemani dalam hidup gw setiap hari,,ngebuat semua hambatan,,cerceaan jadi kerasa mudah buat gw,,,klo kata pak teguh ...hanya orang besar yg limpahi masalah besar,,,orang menilai LOE berdasarkan apa yg loe lakuin,,,,tp yg penting coba jadi diri loe apa da nya….
Gak banyak yg bisa gw bilang disini,dari semua kejadian penting yg banyak muncul dari hidup gw yg membuat sadar kan suatu kedewasaan dan tanggung jawab dari suatu perselisihan antara gw dengan temen temen gw,,,dan dari banyak kisah dimana banyak cercaan yg dateng k'gw dari seorang pemimpin,,dan sampai ke kisah wajah baru yg bermunculan dengan membawa hati hati yang baru...lalu dengan singkat nya muncul lah sepasang sepasang hati yang baru yg klo gw ibaratkan layak nya" MUHAMAD ROONEY IKBAL YANG SEDANG MELEPASKAN UMPAN SILANG NYA KEPADA NYONYA CHA BERBATOV UNTUK DIMASUKAN KEDALAM GAWANG"...ihi…prikitiW…..b
Langganan:
Postingan (Atom)