Senin, 31 Mei 2010

Sakit

(lagi belajar bikin cerpen. mohon komennya ^_^ )


Aqila mengarahkan perhatiannya pada pemandangan di luar jendela, menyaksikan butir-butir air yang turun serentak meninggalkan langit. Batinnya semakin membiru ketika seorang anak yang dipangku oleh ayahnya melewati ruangan tempat ia berada. Ia kemudian menggenggam tangan kanan suaminya yang saat itu berdiam di atas perutnya sendiri. “Aku merindukan anak kita,” ucapnya.

Irsyad, pria yang telah menikahinya selama delapan tahun itu tak memberi jawaban. Ia hanya menganggukkan kepala – sebuah isyarat paham akan apa yang tengah dirasakan istrinya.



“Bagaimana ya kabarnya sekarang? Dia tak pernah mengabari kita lagi. Apa mungkin dia terlalu sibuk?” pandangannya masih tertuju ke luar jendela.

Pria paruh baya dan kurus itu tetap bersikap sama.

“Tentu kau masih ingat bagaimana dulu dia merengek-rengek di sampingku,” Aqila mulai tersenyum membayangkan anaknya. “Aku malah pura-pura tidur waktu dia minta dibacakan dongeng. Ha..ha..”

“Kau memang suka menggodanya,” Irsyad akhirnya bicara. Terpaksa.

“Ha..ha.. Dia semakin manis bila merengek seperti itu. Apalagi ketika ia memohon dengan suara lembutnya. Ah, manis sekali,”senyumnya semakin mengembang. Tak lama perempuan itu memindahkan posisi tubuhnya. Kali ini ia bersandar dengan sebuah bantal sebagai penopang punggungnya.

“Baru di tahun pertamanya sekolah dia sudah membanggakan kita. Aku terharu ketika namanya dipanggil untuk menerima penghargaan sebagai juara kelas. Ternyata kita tidak salah mendidiknya. Benar kan?”

“Ya, begitulah,” Irsyad mengusap wajahnya. Ia menjawab tanpa sedikit pun mengerti apa yang diucapkannya. Dadanya terasa semakin sesak setiap kali istrinya berbicara tentang putri mereka. Seketika timbul keinsafan dalam dirinya bahwa ia sama sekali tidak mampu memutar waktu kembali. Kembali ke sebuah masa di mana Tuhan benar-benar mendengarkan doanya.

“Mungkin kau tidak ingat. Siang itu aku sedang memasak masakan kesukaannya. Tiba-tiba dia datang dan memelukku dari belakang. Ia mengucapkan terima kasih berkali-kali padaku,” perempuan itu menatap wajah suaminya. “Aku jadi heran. Tidak biasanya dia seperti itu. Ternyata baru ku tahu kalu dia menjuarai lomba cerdas cermat tingkat Sekolah Dasar.” Ia tertawa. Susunan giginya yang tidak rata itu tampak jelas. Matanya berbinar.

Irsyad membalas tawa istrinya dengan segurat senyum simpul yang menyimpul mati hatinya. Telah berkali-kali ia dirundung putus asa saat berhadapan dengan kenyataan. Namun ia tetap mencoba kuat dengan tetap menahan api harapan dalam diri yang perlahan-lahan berjalan menuju redup. Sesaat ia beranjak meninggalkan istrinya yang tengah bersandar di atas tempat tidur itu untuk mengambil segelas air.

“Minumlah dulu supaya lebih tenang,” Irsyad kembali. Namun istrinya justru mengabaikan tawarannya. Ia sama sekali tidak haus. Ia masih ingin bercerita tentang buah hatinya, makhluk tercantik yang pernah ada dalam pikirannya.

“Aku ini Ibunya. Seharusnya dia sadar kalau aku tahu apa pun yang dirasakannya. Dia tak akan pernah bisa bersembunyi,” ia menggelengkan kepalanya dengan tetap menyuguhkan senyuman yang dari tadi belum pudar.

“Oh, ya. Waktu itu ia bersembunyi di balik pintu. Kita berdua pura-pura tidak melihatnya,” Irsyad mencoba mengikuti alur pembicaraan istrinya.

“Kau ini bagaimana? Maksud ku bukan itu. Masa kau tidak ingat lagi?” Aqila merengut dan menepuk paha suaminya itu.

“Maaf, Sayang. Itu kan sudah lama. Wajar saja bila aku tak begitu mengingatnya,” ia membalas dengan mengusap kepala istrinya itu. “Memangnya apa yang dia sembunyikan?”

Aqila kembali tersenyum. Berbicara tentang putrinya menjadi satu-satunya cara menngobati kesedihan dalam hatinya. “Aku pernah melihatnya senyum-senyum sendiri. Padahal waktu itu tidak ada siapa-siapa. Dan aku juga yakin buku yang ada di tangannya saat itu hanya buku pelajaran matematika. Tidak mungkin dia tersenyum membaca buku itu. Ha..ha..”

“Maksud mu?”

“Itu saat pertama kali ia jatuh cinta, Sayang. Saat itu aku langsung menemuinya dan ia terkejut melihat kedatanganku. Pipinya langsung memerah dan ia terlihat begitu manis. Aku benar-benar geli melihat tingkahnya. Ia tak mampu berkata-kata. Ia malah menyembunyikan wajahnya di balik buku itu. Aku mencoba menggodanya dengan menarik buku itu dari tangannya. Namun ia menariknya kembali. Aku semakin ketagihan mengodanya,” Aqila lalu menyandarkan kepalanya ke pundak suaminya. “Seperti ini. Ia akhirnya menyandarkan kepalanya di pundakku. Dan sebelah tangannya mendekap lenganku erat. Ia jatuh cinta pada teman satu kelasnya. Begitu yang ia katakan padaku.”

Lidah pria itu kelu. Ia sungguh tak ingin mendengarkan ucapan istirnya lagi. Tapi apa daya, ia tak mungkin meninggalkan perempuan itu. Tiba-tiba saja timbul hasratnya tuk mengumpat Tuhan. Tuhan seakan begitu kejam dengan melibatkannya dalam permainan kehidupan yang sama sekali tak diinginkannya. Tuhan seakan menggunakan kekuasaannya dengan semena-mena tanpa memberikannya kesempatan untuk memilih. Namun akhirnya ia kembali tersadar. Ia hanya seorang manusia yang harus menerima, bukan Tuhan yang dapat berbuat sekehendakNya.

“Ya sudah. Sekarang kau istirahat dulu. Nanti kita lanjutkan lagi.” Ia mencari jalan agar istrinya berhenti bercerita. Bukan lantaran ia membencinya istrinya. Ia hanya tak sanggup melihat keadaan pasangan jiwanya itu. Hari demi hari binar wajahnya semakin suram. Berat badannya merosot tajam. Ia terlihat ringkih. Sekitar matanya meninggalkan jejak hitam sebagai akibat dari kurang tidur dan melewatkan malam dengan tangisan.

“Aku belum mau tidur,” Aqila menolak

“Tapi kau harus istirahat.”

“Jangan memaksaku!” Aqila menaikkan suaranya. “Aku masih ingin bercerita tentang putri kita. Hanya dia yang kurindukan saat ini!” kali ini ia tidak tersenyum.

“Baiklah, baiklah. Kau tak perlu marah seperti itu. Mari kita lanjutkan ceritanya. Tapi setelah itu kau harus istirahat.” Walau berat, Irsyad akhirnya mengalah. Ia gagal dengan usaha pertama tuk mendiamkan istrinya.

“Aku pernah sakit hati pada mu. Sama seperti yang ku rasakan saat ini.” suaranya mengalir dingin.

“Mengapa? Apa yang telah ku perbuat saat itu?” Irsyad diliputi kebingungan.

“Jangan pura-pura tidak tahu. Kau yang memaksanya memilih kedokteran. Padahal ia sangat ingin menjadi seorang penari. Ia datang pada ku sambil menangis saat menceritakan hal ini.” Perempuan itu mengirim pandangan sinis pada suaminya. “Asal kau tahu. aku paling tidak bisa melihatnya menangis. Dia anakku satu-satunya. Tuhan tak akan memberikan yang kedua!”

“Ta, tapi bukankah itu baik untuknya?” Irsyad mencoba membela diri walau tak pernah tahu mengapa ia harus berbuat demikian.

“Itu baik untuk mu. Bukan untuknya!” perempuan itu benar-benar marah. “Setiap manusia berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri. Tak seorang pun boleh mengaturnya. Bahkan Tuhan sekali pun!” mukanya memerah.

“Kalau begitu aku minta maaf! Kau puas?!” Irsyad tak kuasa menahan sesak di hatinya. Spontan suaranya meninggi. Ia mengutuk dirinya sendiri yang tak mampu merubah keadaan.

Mendung di pelupuk mata perempuan itu akhirnya tumpah. Aqila semakin tak berdaya melihat amarah suaminya. ”Sudahlah, kau tak perlu mintaa maaf lagi. Kau sudah melakukannya dulu. Putri kita sudah memaafkan mu. Dia sendiri yang mengatakan kepada ku.” Perempuan itu menyeka air matanya.

“Maafkan aku. Aku hanya belum siap dengan keadaan ini,”

“Kau ini bicara apa. Belum siap bagaimana? Kita harus siap. Setelah kita keluar dari tempat ini, kita akan mencarinya. Aku ini Ibunya. Aku tahu dia masih merindukan kita,”

“Entahlah,”

“Ada apa denganmu. Kau tidak mencintainya lagi?”

“Bagaimana mungkin aku tidak mencintainya. Dia itu darah dagingku sendiri,”

“Lalu mengapa kau bersikap seperti ini? Kau harus berjanji padaku akan mencarinya bersama-sama,”

“Kau sudah lelah. Istirahatlah dulu. Nanti kita bicarakan lagi,”

“Kau harus berjanji padaku,”

“Aku mohon padamu. Istirahatlah,”

“Tapi kau harus berjanji padaku,” istrinya yang kali ini memohon. Air matanya mengalir kembali. Irsyad urung menjawab. Ia justru menatap raut wajah istrinya yang penuh duka itu. Itu pun ia paksakan. Sejurus kemudian ia mendekatkan wajahnya kepada istinya. Dikecupnya kening istrinya itu sebagai bentuk kepedihan yang luar biasa yang sedang ia rasakan. Tak lama berselang, dari arah pintu muncul seorang perawat.

“Pak Irsyad, bisa ke ruangan Dokter Maesa sebentar?”

Irsyad mengangguk. Ia meminta perawat itu untuk pergi terlebih dahulu. Pandangannya kembali tertuju pada istrinya yang kini sudah berbaring kembali. “Kau harus istirahat. Aku ingin keluar sebentar,” ucap Irsyad sembari kembali mengecup istrinya di bagian yang sama. “Kau jangan khawatir. Aku tidak akan meninggalkanmu,” ia melanjutkan ucapannya disertai senyuman.

Kali ini perempuan itu tidak bersuara. Perhatiannya kembali mengarah pada pemandangan di luar jendela, menyaksikan butir-butir air yang turun serentak meninggalkan langit.

***

“Begini, Pak Irsyad. Sepertinya istri anda harus berada di rumah sakit ini untuk waktu yang lebih lama lagi. Ini demi kebaikannya. Gangguan mental yang ia alami tak kunjung mengalami perubahan semenjak pertama kali ia datang kemari. Kami sudah mengusahakan yang terbaik. Namun dalam keadaan ini kita memang harus banyak bersabar,” ucap dokter Maesa.

“Saya juga merasakan hal itu, Dok. Setiap kali bertemu, ia selalu bercerita tentang kejadian yang sebenarnya tak pernah ia alami,” Irsyad menarik napasnya untuk sekedar menenangkan hatinya. “Terkadang saya berpikir, mengapa harus dia yang mengalami hal ini. Begitu banyakkah dosanya sehingga Tuhan menghukumnya dengan cara ini, Dok?” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Dokter Maesa tak sempat menjawab karena setelah itu Irsyad langsung bergerak keluar. Ia menelusuri lorong rumah sakit dengan langkah gontai. Pikirannya kemudian melayang ke masa lalu membayangkan bagaimana mereka berdua saling menguatkan satu sama lain saat setelah tujuh tahun menikah tak kunjung dikarunai keturunan. Barulah setahun berikutnya Tuhan memberikan jawaban atas doa mereka. Benih cinta yang diharapkan itu akhirnya benar-benar tumbuh dalam rahim istrinya Kebahagiaan serta harapan akan masa depan seketika menghampiri. Namun sayang, semua seakan lenyap tak berbekas saat bayi mungil yang baru saja muncul lewat perjuangan antara hidup dan mati itu, hanya diam tanpa sedikitpun mengirim tangisan kepada sepasang manusia yang bertahun-tahun menanti kedatangannya.


Padang, November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar