“Kukuruyuk…’’
“’Pok pok… kukuruyuuk….’’
Makhluk tuhan yang bersayap dan berbulu indah itu sudah sedari tadi menunaikan kewajibannya membangunkan jagad yang telah lama diam, setidaknya dari tengah malam tadi. Pagii di lingkungan perumahan Lubuk Buaya Simpang Rel belok Kiri masuk dalam itu di mana sudah waktunya nyamuk berganti shift dengan lengau untuk berjuang sepanjang hari, demi sesuap nasi buat anak dan ibu tiri.
Hari itu selasa, bertepatan dengan jadwal mata pelajaran Budi Pekerti Luhur di SLB tempat seorang muda yang masih berkutat dengan bantal guling bau pesingnya ini. Betapa nikmatnya alam tidur kiranya sehingga sesekali ia mengigaukan nama seorang gadis-Fani Hayolanda- tentunya ia seorang gadis. Anda jangan salah kira kalau seorang pria Fano Hayolandong dunks???
“Ajib –ajib… ajib ajib….jangan keliru kalau aku dengannya…ajib-ajib….’’ Benda persegi berkulit dongker itu bergetar dan melagu lantang di telinganya pertanda sebuah Short Message Service atau akronimnya SMS tengah landing di pelabuhan simcardnya. Dari nada hape tersebut jelaslah bahwa yang punya hape adalah pria sok gaul. Gaya funky hobby dangdut, ngaku preman lalok sanjo, stelan macho makan jo gulai toco, awak anak gaul, mandi jo sabun tombak.
“Tak, dah bangun mu?? Dah jam 6.10 ne. bentar ge jam 7, trus jam 8. Mu ga shalat subuh apa? Ntar jam jam 7.30 mu sekolah kan? Budi Pekerti kan? Hayo mndi ge, atw mau Fani yang mandiin?”
SMS itu dibacanya sambil tersenyum seraya meremas-remas bantal guling putih kehitaman itu. Lantas langsung dibalasnya sekejap mata tanpa harus melihat keypad hape itu saking fluentnya.
“iya Syng, Yudha dah mndi kok, ni ru bis shlat n bca Qur’an dkit. Mksci ya Fan..Mu care bgt ma Yudha. Tp klo Fani yang mndiin Yudha mau lah mndi beberapa ratus kali lg..hehehe…”
“ih, Mu ne Tak, dasar.”
“ahh,, ga kok Syng, bcnda kok.” Yudha bela diri.
“@@#@#%%$$”
Pukul 7.35 WAT di Sekolah Luar Biasa, kelas sudah dimulai setidaknya 5 menit yang lalu. Semua siswa sudah duduk dengan khidmatnya di bangku masing-masing menunggu curahan illmu dari sang guru yang bukan sadja ganteng, tapi juga keren dan macho, lajang lagi. Namun selengkap-lengkapnya kelas itu belum komplit rasanya tanpa kehadiran seorang siswa yang baru sadja 2 bulan menyandang status siswa di sekolah itu, Yudha I. Pangana.
Ada yang menduga ia sudah tewas gantung diri karena komplikasi depresi kemelut hidup yang tak kenal kompromi. Maka bangku yang berada tepat di belakang Isna itu tak ubahnya seperti bangku kosong yang pernah diduduki oleh Aditya Puteri dalam aksi layar lebarnya yang populer tahun 2005 yang bertajuk the Empty Chair, sehingga Isna sesekali merinding dihantui setan-setan yang bergentayangan tak jelas itu.
Dari jendela kaca yang retak itu terbias sosok hitam–leher sampai rambut- bergerak perlahan ke arah pintu masuk. Melihat benda itu Riswan Indra yang setengah matang mulai merinding dan hampir sadja melakukan hal yang memalukan.
“tok….tok….”
Kelas serempak hening, sang guru terkesiap mendengan ketukan pintu yang hanya dua kali itu. Semua tergagu menepis bayangan apa yang tengah datang. Lalu Pak Ikrar yang bernama lengkap Ikrahimovic –seperti tertera di baju dinasnya- berinisiatif membukakan pintu.
“Maaf, Pak. Boleh saya masuk?” ternyata yang datang bukan apa-apa melainkan sosok seorang siswa pemecah rekor warna kulit di sekolah itu tergopoh-gopoh mengejar waktu untuk menghindari status terlambat.
“Saya rasa kelas akan terlihat begitu indah apabila pintu Anda kunci dari luar.” Komentar Pak Ikrar dengan nada sastranya yang menawan.
“Maaf, Pak, saya terlambat kan Cuma 5,25 menit.”
“ Saya tanya sma anda, ini mata pelajaran apa?” Pak Ikrar mulai naik.
“Budi Pekerti, Pak. Masa Budi Anduk?? Gemana she Bapak ne??? ngaco adja.” Jawab Yudha sepele.
“Grrr……” pak Ikrar mulai geram.
“ jadi gimana, Pak? Boleh saya masuk?”
“saya tanya sekali lagi, ini mata plajaran apa?’’
“ish…. Budi Pekerti, Pak, masa Budi Pamungkas?”
“ itu Bambang!!!!” protes Pak Ikrar.
“jadi, Pak?”
“Keluar you sekarang! Saya didik you disiplin. You itu tidak mau dibentuk. You pikir sekolah ini kampung you apa!!” pak Ikrar Meledak.
“ baik, Pak…. Asyiiiik……”
“ loh kok asyik?” sahut pak Ikrar.
“ Ada deh….. weeeeek…!!!!!!!”
Sumringah Yudha berjalan sambil menghentakkan kakinya berirama keluar dari pekarangan sekolah itu. Ia langsung tergopoh-gopok melihat ke seberang sungai, tepatnya di sebuah café sederhana berdiri pujaan hatinya seraya melambaikan tangan isyarat rindu setengah mati.
“ Faaan…….”
“ Taaaak……”
“ Faaaaaaan….” Kali ini lebih panjang dan berirama.
“ lebay baa paja ko….” Kata fani pelan.
Keduanya berlari layaknya Kajol bersama Ajay Devgan dalam sebuah adegan film Kuch Kuch Hota Hai sesaat sebelum melantunkan tembang melenkolis bertajuk Sardencis Kalai. Kejarlah daku kau kutangkap, begitulah bahasa yang paling tepat untuk adegan 17plus ini. Di jembatan Siti Nur Hailol itulah mereka bertemu sebelum akhirnya menuju ke café tadi bukan untuk sholat, bukan pula membayar dzakat, melainkan sarapan pagi berjamaah.
Tak disangka tak diduga, layaknya serial Max Gyver-sebuah film laga kocak yang populer pada tahun 1980n di Amerika, semua setting dan perwatakan seperti direkayasa sedemikian rupa. Bagaimana tidak, di runang kafe yang tidaklah lebih dari 4x4 meter itu ternyata sudah ada tiga pasang muda-mudi tengah bercengkrama bagai dunia milik kita berenam sadja, yang lain lagi sholat dhuha, sedang yang lain lagi ke telamon entah mengapa.
Di ujung kanan duduk serasi seorang pria macho berpostur pisang goreng bersama seorang gadis mungil berkulit putih, dengan bibirnya yang sedikit lebar tapi sensual yang tengah asyik bercanda ria. Nampaknya merekalah pasangan baru di penghujung tahun 2009 ini. Siapa lagi kalau bukan Ari G. Khadafi dan Cherry, namun akrab dipanggil Mbak yang baru dikenalinya dua minggu terakhir di jembatan Siti Nur Hailol tadi. Jelas terlihat kekompakan mereka dari menu yang terhidang di meja ; sandwich 2 porsi, es rumput laut 2 mangkok, rokok sampoerna 2 bungkus lengkap dengan 2 asbaknya, laptop 2 unit, dan 2 buah hape Nokia, alat penghubung hati mereka di kala jauh. Sesekali terdengar tawa di ujung –ujung percakapan mereka yang penuh cinta dan pesona yang menggelora. (kaan ini…..)
Berjarak setidaknya satu setengah meter, asyik bercakap-cakap sepasang insan akademik yang ditandai dengan onggokan buku di antara mereka. Sudah pasti pemiliknya si cewe atau si cowo, masa yang punya Bang Konny? Ia kan tukang bengkel. Yang benar sadja. Namun tampaknya keduanya tidak se-romantis pasangan sebelumnya.
“ kamu kok bau anjing sih sayang?”
“ aih,,jahat bgt seh biasa aja ge….. masa Didi dibilang bau anjing she syang? Protes si cowo.
“ trus bau apa ganas gni??” usik si cewe penasaran.
“ Babi kyaknya sayang.” Jawab si cowo tulus.
“kok kmu smpe bau kyk gne? Kmu kan ketua, harusnya wibawa, rapi, dan wangi dunks..”
“ Didi maen futsal semalam sayang, dua jam lagi, pulangnya udah jam 2 dini hari, trus mw mandi takotnya malah sakit, bobo aja ge.. ga taunya bangun udah kesiangan, ya ga mandi juga deh.” Urai Didi penuh tanggung jawab.
“sini ge…” pinta sang adinda.
“ janganlah sayang. Didi malu, kan lagi bau.” Elak Didi sok muna.
“ aah, sayang ne, gimanapun, biar didi bau im tetep sayang kok.” Tukas Iim.
“ ahhh sayang so sweet banget seh… dari sekian banyak yang sayang ma kmu kok mu pilih Didi?”
“ ee ashole.. batanyo juo lei…” jawab iim dalam sanubari.
Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Begitu pepetah mengisyaratkan situasi yang berbeda di kehiduapan yang sama. Di ujung kiri, tepatnyabersebelahan dengan sebuah bengkel, hening seribu bahasa, sepasang muda-mudi tengah larut dalam diam tanpa kata bagai Soe Hoek Gie melihat kacaunya dunia politik dan birokrasi Indonesia di tahun 1965. Sang cowo memelototkan matanya pada sebuah mengkok seolah-olah ingin disapunya. Bisa ditafsirkan ia sedang dilanda cemburu mendalam pada beberapa pria yang berada dalam kehidupan si cewe. Rasanya ia ingin menyapu semua pria itu. Andai ada kayu dipukulkannya, andai ada batu ditimpakanny, andai ada bak sampah ditubruknya dengan supraX 125-double cakramnya, andai ada gerobak sate, diserempetnya, dan baanyak lagi andai-andai yang lain yang belum terexpose khalayak ramai. Satu hal yang sepertinya akan terjadi adalah ended their relationship, kemudian in a relationship lagi, lalu ended lagi, terus in lagi. Begitulah saudara-saudara, saya tak perlu mengungkapkan nama sesungguhnya secara gamblang, you know who sadja lah.
“sepertinya sudah penuh, Fan. Kita cari café laen yuks.” Bisik Yudha pada kekasihnya.
“ gitu ya, ga usah aja lah kita sarapan, Tak. Duduk disini adja yuks.” Usul Fani seraya menunjukkan jari indahnya ke tepian sungai cinta dimana melintas Jembatan asmara tadi.
“ya Ok lah fan, buat fani apa sih yang gak? Gunung Merapi pun kalau fani minta Yudha ratain ma tanah.” Goda si kulit putih.
“Bener, Tak? Sekarang lah…” pintanya sekonyong-konyong.
“ iiiya fan..”
“iya apa Tak?”
“ iya gak mungkin lah fan..”
“ lai tau mah… gombal!!!!!”
“tapi fani sayang kan?”
“hufffh…!!!!!!!” mukanya memerah.
Dunia memang tak selebar daun kelor, atau lebih dikenal dengan sebutan merunggai, semacam tanaman tua yang daunnya berupa bundaran seperti koin, biasa dijadikan masakan. Berhubung jam telah menunjukkan pukul 10.30, waktunya istirahat untuk mereka yang berkiprah di bidang akademik. Pak Ikrar langsung terlihat menggandeng calon istrinya yang sudah stand by di pekarangan sekolah itu. Singkt cerita mereka langsung mencari posisi Yang selesa untuk berbincang-bincang sambil mengulap menu makan siang buatan Essa tersayang.
Dari arah selatan berjalan sepasang muda –mudi lagi menuju panorama kerdil itu. Namun mereka sedikit tampak berbeda, tak ada tanda yang menunjukkan mereka pasangan berkasih-kasihan. Yang satu asyik dengan sebuah hape, sedang mengetik SMS sambil senyam-senyum penuh senang. Dan yang lainnya asyik merangkul sebuah boneka hewan langka berwarna cokelat di dadanya, seperti tak ingin melepaskannya. Ternyata mereka adalah kedua putra-putri Pak Retmon- Mekri dan adik comelnya Refi yang ingin berjalan-jalan ke kantor ayahnya.
“ kapan ya, orang bisa tersenyum dan ketawa lage?” keluhnya comel.
“ ahh jangan begitu lah adek… sekarang mata air Kan sudekat. Sang abang merespon.
“ apa hubungannya?” refi protes.
“ well,, denger yah adek ku sayang……if you think he is yours, he is yours. If he used to be yours, he’’s goin’ to be yours. If he is now somebody else’s, he is still yours. Jawab sang aban layaknye seorang native, entah dari mana ia mendapatkan bahasa yang seindah itu.
Refi tersipu malu dengan ucapan abangnya yang tampan dan berwibawa itu.
Nun agak jauh di seberang sungai nampak Ami dan Cahayanya bersiap-siap menyetel motor Fit 11o cc keluaran 2005sepertinya handak menuju suatu tempat, kamana ya? (batanyo juo lei)
Sejurus keluar pak Retmon dan Yauma, siswa berprestasi sekaligus ketua kelas itu sambil bercakap-cakap. Kepala sekolah itu berlagak sok bijak dan berpaham, sedang Yauma bergaya sok asyik layaknya seorang wakil rakyat menjilat presiden dengan harapan dianggap menjadi menteri.
“hati-hati, Pak. Ntar kepeleset.” cegat yauma ketika melewati pak Ikrahimovic yang tengah berbunga-bunga bersama calon isterinya bersuap-suapan menu makan siang.
”kenapa terpeleset? Kan ga ada hujan, angin, puting beliung?” pak Retmon protes.
”ehe...jaleh licin beko tajilapak ang.“ Tukasnya dalam hati.
„ eh, yauma kenapa diam, saya lagi bertanya.“ Bentak sang kepsek.
„gak kok pak, saya hanya asal ngomong sadja. Hehehehe” yauma merona.
“oo…. Patuik lah.. bantuak ang se asal.” Doanya dalam hati.
”pak,,,,, are you oke?” Yauma menggunakan bahasa ibunya.
” Oke kok.... coba kau lihat di sana, sana sono, sini, yang itu, yang ini,...” pak Retmon menunjuk ke arah dimana terdapat pasangan muda-mudi.
” oo, iya ya pak, airnya memang lagi kotor pak. Sungai ini kan terhubung dengan muara laut sini, Pak. Udah gitu semua pembuangan masyarakat dibuang ke sungai ini. ” sela Yauma sok asyik.
” eee karo!!!!.... kama mato ang? Tu ha.... ndak nampak rami?” Bentaknya keras, namun masih dalam sanubari.
”yauma,,,,,,tampang boleh bodoh, tapi mata tu di buka dunks!!!!” tukas beliau.
” oo itu ya, Pak. Saya mengerti sekarang.” banyak mobil dan motor ya? Ya iya lah Pak. Namanya aja jalan raya. Kalo jalan kampung mah sepi paaaak pak.” Yauma berorasi.
” Prakkkk...................
” eeehei anak kini... tajilapak juo den mah...” seru pak Mon.
” aahh Bapak kayak ga pernah muda sadja.” yauma bersabda lagi.
” ngomong-ngomong, kamu kelahiran tahun berapa? Tanya Pak Retmon sejenak setelah termenung merenungkan pergaulan anak muda sekarang.
” lha, kok nanya umur Pak? Mana konnek?” yauma tanya balik.
”jawab sadja.”
” 86 Pak.”
” sudah pernah pacaran? Berapa kali?”
” sudah Pak dua kali.” berbohong ,alibi karena takut diejek.
“Wah….. sayang sekali. Kamu belum beruntung Anakku.“
„ maksud Bapak?“
„ saya bermaksud merekomendasikan kamu ke pondok pesantren di Jawa yang baru diresmikan. Namanya ponpes Darul Anhar.“
’’Ponpes di Jawa? Anhar? Tak asing rasanya Pak.“
”ya iyalah tak asing. Itu ponpes yang baru sadja didirikan oleh Pak Anhar, orang tua Bu Retha Anhar, guru mu, ia ngajar di sana. Nah.... saya yakin kamu bisa menjadi siswa hebat di sana.”
Yauma menangis. ”Saya memang tak pernah punya pacar Pak.... ini karena takdir saya... penyakit ini....” rintihnya dalam hati..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar