Sabtu, 12 Juni 2010

Cerita Kita: Anak Baru dan Peluitnya

 by:

Sufryansyah Mekri Afrius

 

Terima kasih kepada Bg Yauma, Bg Isra, , Della, Bg Amy, Bg Riswan, Yudha, Aini, Retmon, andik, Refi, dan Isna yang telah mengikhlaskan nama mereka untuk dijadikan ikon perwatakan dalam Cerita ini.
Cerita berbasis Ambuih-ambuih ini baiknya dibaca dalam 3 situasi. Pertama, ketika Kita sedang dilanda traged remaja-putus cinta- karena kita akan dihibur dengan aksi-aksi pengundang sungging bibir, baik bibir dari yang monyong sampai ke yang memble. Kedua, pas lagi masuk angin karena ketika kita dibuat kesal olah seorang karakter, kita bisa menyerangnya dengan h2so3Cl alias gas kentut. Dan yang ketiga ketika jam istirahat berhubung komposisinya cukup panjang dan menyita waktu.


“kriik kruuk kriik kruuk…..” Kursi itu meringkik dengan nada dan tempo yang tidak seirama menandakan bahwa benda yang dikenal dengan istilah furniture (baca; furnice;) itu sepenuhnya dirangkai dengan kayu. Asap mengepul dan terkadang membentuk lingkaran tak sempurna dari pejabat yang tengah duduk melamun di ruangan yang sangat dicintainya itu. Nampaknya pukul 10.15 pagi itu adalah saat di mana ia tidak dihajar oleh tugas dan tanggunng jawab yang merepotkan sehingga ia bisa menerawang ke dunia fantasinya, tepatnya fantasinya yang suram.
Di atas meja yang tak bertaplak itu bertengger sebuah vas bunga cantik. Kenapa cantik? Karena di bagian depan nya ditempelkan foto wanita cantik bukan main, putih, dan berjilbab. Sepertinya cucu hawa inilah yang tengah menjadi objek browsingnya.
Siapakah ia? Dikatakan istrinya bukan. Kenapa? Karena Bu Aini Bensal tak pernah menikmati punya kulit dan ukuran tubuh seindah itu. Dibilang adiknya tidak mungkin. Kenapa? Karena adiknya secantik ini masa ia…….hohohoho jangan dipikirkan lagi. Disebut ibunya masa iya? Kenapa? Wallahu’alam Bisshawab.
Tepat di sebelah vas itu berdiri condong sebuah plat putih yang telah memudar dan bertuliskan Drs. Retmoth B. Poetra Kepala sekolah. Benda itu memastikan bahwa ialah pentolannya sekolah berlantai satu dan beruangan tiga itu: 1 ruang guru plus kepala sekolah, 1 ruang belajar, dan sisanya sebuah kamar kecil yang sangat kecil yang menandakan sekolah ini memang luar biasa.
Berselang hanya setengah jam, asbak yang setia menemaninya itu sudah terisi penuh dengan sisa rokok kretek bermerk Gudang Garam Merah yang sudah dikonsumsinya sejak 15 tahun terakhir. Dan bila kau ada di ruangan itu Kawan, Kau akan tertawa sekaligus iba melihat polemic hidup yang tersirat dari mimic wajahnya.
Ada apa dengan Pak Retmon? Tak ada yang tau selain istri dan kedua anaknya, Mekri, si sulung tamatan sekolah di Jayapura dan bekerja di sebuah perusahaan air minum dan adiknya Refi yang sukses menggadrungi bisnis boneka.
“Tok tok tok….. Assalamu’alaikum.” Pak Retmon dibangunkan dari dunia mayanya. “Silakan masuk” ijinnya. Ternyata seorang putranya yang berkulit gelap, tinggi, dan bergigi kuning. Di bajunya tertulis nama “ Yudha Oka I. Pangana”. Agaknya pasangan ibu-anak ini bermaksud ikut bergabung ke sekolah ini.
“ ibu dulu mengajar di mana memangnya? Kalau Saya boleh tau.” Pak Retmon bertanya layaknya seorang yang berwibawa.
“saya dulu seorang dosen, Pak.”
“ Lha kenapa pengen ngajar di sekolah? Sekolah seperti ini lagi.”
“ Ya itulah Pak, anak saya yang satu ini permintaannya kalau tidak dipenuhi bisa ngamuk, Pak.”
“ Kenapa begitu?” pak Retmon penasaran.
“ Begini, sepertinya anak saya sangat terpukul dngan kehilangan impiannya, pak.
“Maksud ibu?”
“ anak saya tidak diterima di mana-mana, Pak.”
“ Lha kalau itu ibu ga usah ragu, jan sungkan ah… sekolah ini terbuka dan akan sangat berbahagia menerima murid baru, Buk. Hehehehehe….” Pak Retmon tertawa sehingga giginya yang tersusun rapi terlihat serasi dengan bibirnya yang merah walaupun ia rajin minum kopi hingga 38 cangkir sehari.
“ tunggu dulu Pak. Maksud saya anak saya tidak diterima bukan di sekolah-sekolah.” Tukas ibu tadi.
“ Lalu?”
“ ia gagal jadi polisi.”
“ ohoho… begitu ya, Buk.” Tegurnya malu. “ngomong ngomong siapa nama kamu , nak?” tanyanya membuka percakapan dengan ank itu.
“ Yudha Oka I. Pangana, Pak.” Jawabnya lugu.
“ I itu singkatan dari apa?” ulasnya.
“ Ilang, pak.”

Detik berganti menit, lalu menjelma menjadi jam, kemudian hari pun bertukar. Tepat esok harinya anak baru itu memulai kisah barunya di sekolah itu dan mulai melupakan halaman-halaman yang penuh coretan lama.
“ Bismillahirrahmanirrahim.”
Seraya mengucapkan doa ia melangkah manuju Thunder kesayangannya.
Hanya dalam durasi beberapa menit ia sudah sampai di sekolah bercat ungu kemerah-merahan itu. Ia berhenti untuk memarkir si Jantan dan mencabut kunci seraya memenggal helm biru muda dari kepala botaknya. Kunci motor digenggamnya berjalan sehingga gantungan berupa sebuah peluit itu berayun-ayun.
“ Wah Wah anak baru ya Dek?” seseorang menegurnya.
Ia melirik kiri-kanan, ingin tau siapa yang menegur dan ditegur. Tak ditemukan seorangpun selain seorang pria yang berdiri di antaras gerobak sate dan burger milik keluarga Masido- pasangan sejoli yang sudah pacaran sejak 10 tahun sebelum menikah. Pria itu mengenakan jeans hitam plus sobeken-sobekan ala vokalis grup band. Perawakan dan cara tatap matanya menambah kemiripannya dengan gambar yang dipajang pada kaca gerobak itu- Andra And the Backbone. Satu hal yang membedakanny dengan sang idola adalah perbedaan tipis tinggi badan- 181 : 154 cm.
“ Oho.. iya Mas.” Jawabnya ramah. Ia terus jalan ke arah sekolahnya untuk bertemu dengan teman baru, guru baru, suasana baru, dan semangat baru. “ gila,, keren banget tukang sate disini,, apalagi siswa dan guru-guru ya?? Yahhh pasti enak sekolah di sini.” Gumamnya.
“ Dek, Dek… Tunggu sebentar.” Ia dicegat lagi.
“iya Mas.”
“ Namanya siapa?”
“ Yudha, Mas.” Ngomong-ngomong gantungan kuncinya bagus, peluit ya??
“Iya”
“ kayak polantas aja bawa-bawa peluit.”
“hohoho, ga juga, Mas. Ini buat main bola..” Jelasnya alibi.
“ Oo wasit ya?”
“ Ngga, kipper… ya wasit la.. masa kipper? Kalo kipper kan bawa sarung tangan” ia mulai kesal.
“hehe iya juga ya?? O iya, Adek tentunya belom tau kan sama pimpinan sekolah disini?”
“ Emang.”
Orangnya baek bener lho Dek, udah gitu rajin sholat, sayang istri, saying sesama, apalagi sama siswanya. Sama orang tua ia sopan, dan yang paling penting sama pedagang kecil ia sering menyumbang.” Jelasnya.
“ Begitu ya? Wah beruntung ya saya, Mas?
“ Iya lah… Masa situ rugi? Kan ga jualan?”
“ Mas sendiri tentunya sudah sering dikasih sumbangan dunk? Trus sama Bpk Retmon Mas sudah cukup akrab dunk?” Tanya Yudha memastikan.
“ Belom pernah, Dek. Emangnya namanya Pak Retmon ya?”
“trus dikasih sumbangannya kapan, Mas?”
“ Boro-boro.”

“ Tok tok tok… Assalamu’alaikum.” Sapanya sopan dan penuh nada sopan.
Setelah dipersilakan masuk oleh ibu Retha yang sangat dicintai ketua kelas tersebut ia diminta memperkenalkan dirilayaknya peraturan sekolah-sekolah kolosal warisan leluhur.
Berdiri di hadapan 7 orang siswa dan seorang guru wanita lajang tak membuatnya gugup, malah makin semangat alias on fire-istilah orang sekarang.
“ Baiklah, nama saya Yudha Oka I. Pangana. Rekan-rekan bisa panggil saya Yudha. Saya pindah kesini mencari cita-cita dan cinta.” Jelasnya lugas, tajam, dan berwibawa. “ Ada pertanyaan?” ulasnya.
“ Iya.” Seorang siswi cantik berjilbab yang duduk dengan siswa laki-laki di pojok paling belakang. Sepertinya mereka sudah akrab begitu lama.
“ Iya, silakan.” Ijinnya.
“ Sebelum La Tanya, biar La perkenalkan semua anggota kelas kita dulu ya… yang duduk paling depan berhadapan Bu Guru namanya Yauma. Ia ketua kelas kesayangan kita karena pintar berpuisi dan menulis cerpen. Ia juga pintar dalam masalah cinta. Tapi sayangnya ia sudah mengoleksi sekitar 8 orang pacar, itu pun cantik-cantik. Yang di belakangnya berturut-turut Andik dan Arif. Dua cowo ini seiman sekeyakinan tentang sastra. Obrolannya tak lepas dari kamera, film, shoot, decorate, dubbing,dll. Yang di ujung namanya Isna. Ia tomboy, suka main futsal, jago lompat jauh, hebat lari sprint, jitu menembak, trus pernah juara pacuan kuda tingkat kota. Nah persis di belakang Isna namanya Riswan. Yang satu ini pemalu. Kalo ketemu orang baru wajahnya pasti memerah, bahkan pernah nangis. Trus anaknya lembut, sayangnya ia botak. Kalo rambutnya panjang mah bias di\kepang dan dikenakan rok. Hahahahaha…….”
Semua yang ada di ruangan itu tertawa termasuk Bu Retha yang murah senyum dan baik hati. Semua merasa penjelasan Della cukup jelas dan menghibur. Namun tidak buat Riswan. Ia menangis karena dipermalukan.
“ Dela melanjutkan orasinya,” nah yang satu ini abang La. (sambil menunjuk pria berambut lurus tebal di sebelahnya). Ia rajin, pintar, berwawasan, suka berorganisasi, romantis lagi. Ia sering bawa La ke Pustaka Daerah buat nambah ilmu dan cahaya hati.” Sambungnya.
“ wuuuuu……….” 5 siswa lainnya menjulurkan lidahnya ke arahnya.
“ Lalu pertanyaannya mana?” Yudha menagih jnjinya.
“ oho, iya La hampir lupa. Inilah resikonya banyak ilmu dan wawasan, sering lupa aja bawaannya. La liat kamu megang kunci, gantungannya bagus,, warnanya putih lagi. Apa itu?”
“ Peluit.”
“ mau jadi polantas ya?”
“ ga, masa iya.. ini buat main bola.” Jawabya alibi lagi.
Kemudian selesailah acara perkenalan murid baru. Yudha terlena sejenak, ternyata di dalam kelas yang yang cukup renggang itu terdapat sosok-sosok teman yang luar biasa . maka ia mulai berfikir untuk jadi satu di antara kelompok itu, dan melupakan keinginan jadi aparat Negara yang lama diidamkannnya.
Sepulang sekolah peluit kesayangan itu diberikannya kepada Isna untuk Perlengkapan Main Futsal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar